Botol Kecap (2)
Hari-hari terlewati. Anak tuan Hyr mulai memberanikan diri mengajakku pergi. Aku mulai menyukainya. Petang hari, ketika semua urusan kami selesai, ia menjemputku di pertigaan. Mantel dan sepatu boot klasiknya mencuri perhatianku, ia sungguh memiliki selera yang bagus. Saat itu matahari tertutup awan dan udara sedikit dingin karena angin berembus cukup kencang di akhir musim semi. Kami berjalan bergandengan. Tapi jangan pikir ini semacam kencan sepasang kekasih yang sedang kasmaran, kami sama sekali tak memiliki rasa itu. Ia mengajakku ke perkebunan kedelai milik keluarganya. Dan aku jatuh cinta, pada perkebunan itu. Kedelai-kedelai terbaik dihasilkan di kebun yang luasnya sekitar tiga hektar ini, cukup luas untuk ukuran sebuah perkebunan keluarga. Ia dan keluarganya lalu memberiku satu kantung penuh biji kedelai hitam yang ranum dan siap diolah menjadi kecap. “Kau tahu, aku belum pernah mengolah kecap,” aku menatap biji kedelai di genggamanku lekat-lekat . “Tak perlu k