Botol Kecap (1)
Tuan Jan akan mengadakan pesta yang kedua kalinya di musim ini. Setelah pesta kelahiran anak keenamnya yang diadakan tujuh hari, kini pesta mewah kembali dipersiapkan menyambut kedatangan putra keduanya, seorang prajurit.
Siapa tak bangga memiliki anak seorang prajurit yang menang dalam peperangan? Kedatangan sang putra memang benar-benar harus dirayakan. Entah harus berpesta berapa hari lagi.
Ia sungguh terlalu banyak membuang uang hanya untuk pesta. Tapi tentu saja itu bukan urusanku. Aku sudah cukup repot harus mengurusi berkilo-kilo daging kalkun dan daun peterseli yang akan ku sulap menjadi sajian utama lezat dalam pesta.
Dapur rumah Tuan Jan telah menjadi tempat favoritku, dan Nyonya Sinna membuatku tergila-gila pada masak. Dapur seluas empat kali enam meter ini memiliki tembok berwarna salem dan dikelilingi jendela-jendela besar.
Botol-botol kaca penyimpan rempah-rempah, semua tertata rapi di dalam lemari kayu berbahan ulin. Batuan granit melapisi setiap inci lantainya dan bak cuci warna tanah ditempatkan agak sedikit jauh dari kompor arang.
Penataan yang nyaman membuatku senang menghabiskan waktu di dapur rumah Tuan Jan dan memasak untuk keluarganya. Aku terlalu berdedikasi pada pekerjaanku, padahal aku belum menikah.
Tidak. Tunggu sampai aku memiliki alasan mengapa aku harus menikah. Kemudian benakku berbisik, menikah artinya jenisku akan tetap lestari dan tidak terancam punah.
Alasan macam apa itu.
***
Pagi-pagi sekali aku pergi ke pasar mengambil pesanan daging kalkun segar di kedai Tuan Hyr untuk hidangan pesta. Dapur rumah Tuan Jan bisa saja menjadi tempat favorit pertamaku, tapi tentu saja bagi seorang juru masak, pasar menjadi tempat favorit kedua.
Tuan Hyr tak ada. Anaknya, yang belum pernah kulihat sebelumnya, menyiapkan daging pesananku.
“Mengapa kau membeli daging segar banyak sekali, Nona? Apa anak-anakmu tak merasa mual?” ucap dia sambil menaikkan sebelah alisnya.
“Apa katamu? Aku…tak punya anak!” kataku.
Ia bertanya lagi, “Lalu ini semua untuk siapa? Kau makan sendiri?”
“Bisakah kau berhenti bertanya dan simpan rasa ingin tahumu di dalam boks itu?” ucapku yang mulai jengkel.
Senyumnya merekah, “Hmm.. tentu saja. Boks ini sekarang kosong karena isinya akan kau bawa pulang. Aku akan mengisinya dengan rasa ingin tahuku.”
Aku merengut dan segera pergi dari situ. “Dasar bodoh!” Aku benar-benar tak suka pemuda itu. Sungguh menyebalkan mengetahui dia adalah anak Tuan Hyr, langgananku yang begitu baik hati.
Dua belas anggota keluarga Tuan Jan harus kuberi makan, tentu saja aku perlu banyak daging. Apakah aku terlihat seperti wanita menikah yang telah memiliki anak? Pemuda bodoh. Wajahnya pun tak dapat dikatakan muda.
***
Di dapur rumah Tuan Jan aku banyak menciptakan berbagai resep masakan baru. Nyonya Sinna menyukainya. Anggaplah begitu karena ia selalu memuji masakanku.
Nyonya seorang wanita paruh baya yang masih tetap cantik dan bugar meski telah memiliki enam orang anak. Enam orang anak!
Mungkin ia dan Tuan Jan begitu mencintai anak-anak. Mungkin mereka ingin banyak teman di hari tuanya. Mungkin aku tak mengerti.
“Kau pandai memasak. Carilah seorang pendamping,” ujarnya suatu hari.
Aku menarik nafas, “Nyonya ku rasa tak bisa dikaitkan pandai memasak dengan mencari pendamping.”
“Tentu bisa. Kemahiran memasak merupakan syarat utama seorang wanita untuk segera mendapatkan pendamping. Aku pun. Hanya saja aku memiliki banyak anak dan orang tua yang harus ku urus. Oleh karena itu aku butuh bantuanmu,” katanya panjang lebar.
“Hmm..Nyonya apakah menurutmu aku akan segera menemukan pendamping?”
Matanya berbinar, “Ya! Lebih dari itu, kau akan menemukan cinta sejati.”
***
Pada kenyataannya tak sekilas pun aku memikirkan pendamping atau cinta sejati atau apapun itu namanya. Hari ini aku disibukkan dengan tamu Tuan Jan dari kota tetangga dan tak sempat mengambil daging segar ke pasar. Tuan Hyr akan mengantarnya ke sini setelah ku kirimkan pesan padanya, pikirku.
Namun bisa kau tebak siapa yang mengantarkan daging kalkun yang kupesan? Anak laki-laki Tuan Hyr yang tempo hari berseteru denganku di pasar.
Ia mengendap-endap dan mengintip ke dalam jendela dapur bagai pencuri. Jika saja aku tak kenal wajahnya, sudah habis kupukuli dengan wajan.
“Kemana Tuan Hyr? Aku tak pernah melihatnya akhir-akhir ini,” aku menatapnya tajam.
“Tampaknya aku harus menjawab pertanyaanmu.”
“Tentu saja. Apa maksudmu?” wajahku mulai memerah menahan amarah.
“Boks di sini penuh dengan daging kalkun sehingga kau tak dapat menyimpan rasa ingin tahumu akan ayahku, di dalamnya.”
Aku bersungut, “Kau ini sungguh menyebalkan!”
Ia terdiam sebentar dan menghela nafas, “Ayahku sakit keras dan harus dibawa ke rumah sakit di luar kota.”
“Benarkah?” seketika amarah berganti iba.
Aku ingin Tuan Hyr lekas sembuh dan tidak lagi membiarkan anak muda sembrono ini menjaga kedainya. Sungguh.
***
Ia masih tetap di sini untuk beberapa saat, menyembulkan kepalanya di jendela besar sebelah barat. Mengulum senyum, manis, seperti gula-gula yang sering ku beli di pasar.
“Tugasmu sudah selesai bukan? Kau boleh pergi,” kataku ketus.
“Bolehkah aku main lagi ke sini?”
“Main? Apa kau pikir dapurku (maksudku dapur rumah Tuan Jan) adalah tempat bermain?”
“Jangan ketus. Kau tak akan punya pacar jika selalu ketus terhadap orang lain. Jadilah sahabatku. Aku akan berkunjung lagi.” ujarnya seraya berlalu.
“Apa katamu? Sinting!”
Ia menghilang dari pandangan.
***
Comments
Post a Comment