Wood Wedding Anniversary
Desember 2014, malam, lupa tanggalnya, saya lihat dia untuk pertama kalinya, di depan kantor. He's caught on my radar since being too loud in office Whatsapp group.
"Raisan nanya katanya kamu udah punya pacar apa belum?" kata sahabat saya, Intan. Karena Intan, saya dan dia jadi dekat. Pernah suatu malam saya dan Intan yang sedang duduk di depan kantor tiba-tiba ditraktir sekoteng, sepulang dia main futsal.
Kedekatan yang lebih dekat lagi terjadi Mei 2015, waktu kami terpaksa liputan bareng dan saya terpaksa nebeng motornya tanpa helm untuk pulang ke kantor. Hari itu terasa panjang, kami ikut karaoke bareng teman-teman tapi sama-sama gak ikut nyanyi dan pilih untuk mlipir beli sate dekat tempat karaoke. Saya ditraktir lagi kedua kalinya.
Saya belum suka dia, tapi suka motor CB-nya. Motornya berhasil mengiyakan saya untuk nemani dia main (main or liputan whatever) ke Puncak, 16 Agustus.
"Mau minta izin deketin teteh, boleh?" katanya saat makan. Kinda weird to be called Teteh smh.
***
foto: Muhammad Eldi Sudradjat |
Dia berstatus pengangguran waktu kami nikah. Karena saya masih bekerja, saya yang 'menafkahi'. Waktu dia diterima di kantor yang gajinya sedikit, saya tetap memberi subsidi karena gaji saya lebih besar.
Tapi untuk pengantin baru, ada yang lebih menyulitkan daripada masalah gaji: long-distance marriage. Jarang ketemu bikin kami sering ribut, apalagi kondisi psikis saya gak stabil karena hamil.
Seminggu sekali dia pulang, berjuang dengan 10 jam perjalanan bolak balik dari kota tempatnya tinggal ke kota tempat saya tinggal, hanya demi satu malam memeluk istri dan si jabang bayi. Beda kota gak buat dia sekali pun absen untuk ikut periksa kondisi kehamilan saya.
Saya sempat skeptis dengan 'rezeki setelah menikah' dan bersikeras harus punya rumah sendiri sebelum menikah. Tapi setelah keegoisan itu dimusnahkan dan benar-benar pasrah dengan ketentuan Allah, seluruh doa satu per satu terjawab, segala urusan dilancarkan, dan semua rezeki mengalir deras.
Dia dapat kerjaan baru sesuai passion dengan gaji lebih besar. Sebulan sebelum anak kami lahir, saya sudah tanda tangan sertifikat rumah. Lima bulan kemudian, kami sudah tinggal satu atap di rumah sendiri. Saya ikut pindah kerja ke tempat yang lebih baik di kotanya.
Di rumah baru, kami gak berhenti mengukir cerita. Proses pendewasaan terus terjadi. Tangis, peluk, tawa, marah semua campur aduk hingga bermuara pada hubungan yang lebih kuat di setengah dekade ini.
Selamat ulang tahun pernikahan ke lima, Popi. Terima kasih sudah mau membersamai dengan perjuangan yang hebat itu.
Comments
Post a Comment