Kunang-kunang Kuning
foto: Fira Nursyabani |
K, apabila suatu saat nanti aku harus menyusun kenangan, mungkin akan ku kenang kau sebagai seekor kunang-kunang. Nyalamu hanya terang sejenak di malam yang singkat, namun sungguh, itu adalah nyala terhangat yang selalu membekas di hatiku. - Intan Kirana
Mobil silver itu melaju pelan, terjebak di tengah macet sore Jakarta. Aku sudah melihatnya dari jauh dan sedang menunggunya mendekat. Di dalamnya ada orang yang tak ku kenal, tapi dia berhasil membuatku merangsak masuk.
Ada setangkai bunga dan sebatang cokelat di jok mobilnya. Aku tak suka bunga. Aku tak makan cokelat. Tapi aku suka senyumnya saat memberikan kedua benda itu kepadaku. Senyum yang mencengkeram ke dalam nadi.
"Kita mau ke mana?"
"Ke tempat yang jauh, supaya tidak ada satu orang pun tahu."
Aku memalingkan wajah ke spion, basah karena hujan baru saja turun. Lalu aku kembali menatapnya. Ia sibuk menyetir. Wajahnya masih sama seperti wajah yang ku lihat di tangga kantor malam itu. Sorot matanya dingin, membuatku tercekat.
Tanganku tiba-tiba ditarik dan digenggamnya sambil mengganti persneling. Jakarta sudah berubah malam. Lampu di gedung-gedung bertingkat mulai berpendar. Ia bersenandung kecil. Ku tatap tangannya yang putih dengan sedikit guratan urat-urat berwarna biru. Di jari manisnya melingkar sebuah cincin palladium.
Tangan ini menggenggam tanganku yang mungil untuk pertama kalinya saat kami berada di perkebunan bunga daerah Puncak. Sejak itu aku bisa tersenyum, tertawa, terkekeh, hanya dengan menyentuh dan melihat tangannya. Berharap dia akan mengingatku nanti, hanya dengan melihat tangannya sendiri.
"Kenapa?"
"Aku suka tanganmu sekarang dan sampai nanti."
"Padahal aku beri bunga, kenapa lebih pilih tanganku?"
Benar juga, bunga darinya belum lagi ku sentuh. Mawar merah, yang berarti cinta dan gairah. Perasaan yang sedang meluap-luap dalam hatiku. Mungkin hatinya juga. Harusnya aku yang memberi bunga. Di perkebunan bunga Puncak waktu itu, dia sangat suka memotret bunga. Bunga kertas, bunga kersen, bunga ilalang.
Aku mau jadi bunga-bunga yang dipotret itu, yang mungkin menjerit-jerit dalam hati untuk dipetik dan dibawa ke mana saja dia pergi melihat dunia.
"Setel lagu ya?"
Aku mengangguk. Diputarnya lagu Jatuh Hati dari Raisa. Aku kembali memalingkan wajah ke spion, ingin menikmati liriknya. Hujan sudah mereda, hanya tersisa bulir-bulir airnya yang menempel di kaca mobil. Kami sudah semakin jauh meninggalkan Jakarta.
Mengapa hanya jatuh hati, bukan jatuh cinta? Mengapa tak harus memiliki? Tangannya yang menyentuh pipiku tiba-tiba, membuyarkan lamunan. Tangan itu lagi. Kini tangannya dingin, tapi terasa hangat sampai ke hati.
Aku selalu suka perasaan ini. Perasaan hangat yang sama seperti saat dia tiba-tiba mengirimkan puisi rindu di malam yang senyap. Puisi-puisi yang ku koleksi untuk ku baca kembali nanti, saat kita kembali ke posisi saling tidak mengenal lagi.
Mobil masih melaju, belum ada tanda-tanda sampai tujuan. Ku beranikan diri bersandar di bahunya dan satu kecupan mendarat di kepalaku. Aku ingin kecupan-kecupan yang lain. Tapi ini lebih dari cukup.
Di dalam mobil, di bawah lampu temaram kompleks rumah malam itu, aku menciumnya untuk pertama kali. Itu bukan ucapan terima kasih karena sudah mengantarku pulang. Itu ledakan hasrat yang ku pendam sejak pertama kali melihatnya menuruni tangga kantor.
Betapa ajaibnya wajah dengan sorot mata dingin yang dulu sulit digapai, kini hanya ada beberapa centimeter di hadapanku. Aku perlu merayakan. Dengan ciuman hangat yang mungkin akan dia ingat seumur hidupnya.
Malam semakin larut. Aku merapatkan jaket dan membetulkan letak duduk. Ia tetap fokus menyetir, seolah perjalanan masih akan sangat lama. Tatapannya masih dingin, seperti es batu yang tertuang ke jus alpukat kesukaannya.
"Kamu mengantuk?"
"Tidak. Aku mau menikmati momen ini, tanpa peduli bagaimana nanti."
Mobil melaju kencang di jalanan berbukit. Jika ini bukan malam, mungkin aku bisa melihat pemandangan pepohonan hijau, entah itu perkebunan teh atau hutan pinus. Yang jelas, masih belum ada tanda-tanda sampai ke tujuan.
Lagu masih sayup-sayup terdengar. Ku tatap kaki jenjangnya yang berbalut celana jins biru tua, dada bidangnya yang selalu ingin ku bawa pulang untuk ku peluk saat tidur, tangannya yang panjang dan menggairahkan, dan tentu saja wajahnya, dengan mata yang masih menyorotkan tatapan dingin.
Ia mulai menancap gas di jalanan yang kosong, lalu tiba-tiba membanting stir ke kanan berusaha menghindari benda asing bercahaya di depannya. Kap mobil berasap. Kami berhenti untuk pertama kalinya sejak hujan turun sore tadi, di tengah semak dengan ribuan kunang-kunang yang memancarkan cahaya kuning.
Ternyata tak ada tujuan. Ribuan kunang-kunang kuning membawa tangan putih dan wajah dingin itu kembali ke pemiliknya.
Comments
Post a Comment