Rainier Suraiya (2)
foto: Raisan Al Farisi |
Saya baru diperbolehkan
pulang dari rumah bersalin kalau sudah buang air kecil. Tapi buang air kecil
adalah hal yang sulit, selain ngeri karena jaitan, saya juga gak biasa pakai
toilet umum.
Alhasil saya diminta untuk nginep dulu satu malam, padahal jarak dari
rumah bersalin ke rumah gak jauh loh. Hiks.
Mama dan
Bapak gak bisa ikut nginep karena di rumah harus ngurusi ari-ari dan kain-kain
penuh darah bekas lahiran. Tinggal lah saya, suami, dan seorang sepupu yang
tinggal di rumah bersalin bersama dedek.
Ini bagaikan shocking therapy buat saya dan suami. Gimana enggak, belum 24 jam jadi orang tua, kita udah harus ngurus bayi baru lahir semaleman. OMG.
Ini bagaikan shocking therapy buat saya dan suami. Gimana enggak, belum 24 jam jadi orang tua, kita udah harus ngurus bayi baru lahir semaleman. OMG.
Kita berdua begadang semaleman. Kita masih bingung dengan pola tidur dan arti
dari tangisan dedek. Dedek maunya nyusu terus. Kalau udah bosan dan ngantuk,
dia maunya tidur sambil di gendong-gendong.
Di tengah malam, saya dan suami
mesti gantiin popoknya dan benerin bedongan. Kita dituntut harus bisa, tanpa
kursus terlebih dahulu. Bismillah. Allahu Akbar.
Besoknya bu
bidan mengambil alih pengurusan dedek. Setelah mandi dan diimunisasi, akhirnya
dedek bisa pulang, horee.. Kakek Nenek sudah menunggu untuk menjemput. Makasih
bu bidaan…
Malam pertama begadang bareng dedek (foto: Fira Nursya'bani) |
Gak
henti-hentinya saya bersyukur atas semuanya, terutama waktu lahiran yang cukup
singkat. Saya memang kontraksi semalaman, tapi dari pembukaan satu ke pembukaan
lengkap cuma berlangsung lima jam. Kata bidan, kelahiran pertama biasanya akan
memakan waktu belasan jam dari pembukaan awal untuk bisa sampai ke pembukaan
lengkap.
Proses persalinan pun cuma 30 menitan, meski harus berkali-kali
mengejan. Alhamdulillah… Alhamdulillah… Alhamdulillah…
Kenapa saya
milih untuk lahiran di bidan? Dari hasil cerita-cerita sama keluarga yang udah
berpengalaman, lahiran di bidan itu lebih enak, lebih eksklusif, tanpa stres
karena gak banyak orang, dan juga lebih murah (untuk biaya, saya gak ngeluarin
uang karena pakai BPJS).
Tapi ini hanya untuk
perempuan yang hamilnya gak bermasalah kayak saya ya. Kalau ada masalah, tetap
harus dirujuk ke rumah sakit dan berada di bawah pengawasan dokter.
Saya tetap konsultasi ke dokter kandungan di sebuah rumah sakit ibu dan anak yang lokasinya juga gak jauh dari rumah. Rencananya, kalau saya harus operasi Caesar pas
lahiran, saya udah punya rekam medisnya di rumah sakit itu.
Tapi kalau lahiran
normal, saya tetap maunya di bidan. Dan Alhamdulillah terwujud, buah dari doa
yang tiada henti dan sugesti positif ke diri sendiri.
Oh iya,
hampir lupa. Anak saya dan Raisan ini diberi nama Rainier Suraiya. Nama ‘Rainier’
itu udah diajukan suami dari jauh-jauh hari. Dari bahasa Prancis, Rainier
artinya menurunkan harapan.
Rainier juga nama sebuah gunung yang ada di Amerika
Serikat (mentang-mentang mak bapaknya suka naik gunung yak), dan nama seorang pangeran
Monako.
Sebenernya suami
pengen banget punya anak laki-laki, yang nantinya bakal dikasih nama Muhamad
Rainier. Waktu USG pertama di usia kehamilan enam bulan, ternyata ketahuan kalau anak kita
perempuan.
Meski begitu, kita masih tetep mau pake nama Rainier, walaupun
dilanda kebingungan untuk nemuin nama belakangnya.
Setelah
beberapa hari dedek lahir, baru kita menemukan kata ‘Suraiya’, yang artinya
bintang. Suraiya juga mirip-mirip sama nama Papa Bandung dan nama belakang
Mama. Kita berdua sepakat, nama anak cukup terdiri dari dua kata aja.
Menurut
Bapak dan Mama, nama anak yang panjang dan ribet akan menyulitkan si anak saat
pembuatan dokumen-dokumen, terutama ijazah. Baiklaah…
Kesepakatan
lainnya yang saya buat dengan suami adalah: gak masang foto wajah anak di media
sosial. Sebenarnya ini usul saya. Ada banyak pertimbangan atas keputusan ini,
salah satunya adalah perlindungan terhadap keselamatan dan keamanan anak.
Saya sadar,
suami yang berprofesi sebagai seorang fotografer pasti akan memaksimalkan
kekuatannya untuk mendokumentasikan anaknya sendiri.
Tapi saya sebagai istri
akan menuntut profesionalitasnya sebagai bapak untuk memanusiakan anak, bukan menjadikannya
sebagai objek semata. Dan Alhamdulillah dia setuju atas usul ini.
foto: Fira Nursya'bani |
Saya amat
sangat berterima kasih kepada suami, Raisan, yang gak pernah sekalipun
membiarkan saya periksa kandungan sendirian, yang selalu memenuhi keinginan
saya selama hamil, dan yang rela meninggalkan agenda pentingnya untuk Asian
Games 2018 demi ngeliat anaknya lahir.
Dukungan
penuhnya amat sangat membantu saya untuk rileks selama mengandung, melahirkan,
dan proses pemulihan. Suami juga gak segan untuk ikut begadang, ganti popok,
juga nyuciin pakaian-pakaian kotor dedek. Suami seksi banget yah..
Semoga
semua doa terkabul agar kita bertiga segera bisa satu atap, aamiin. Tunggu momi
dan dedek di Bandung ya, popi.
foto: Raisan Al Farisi |
Manusia lainnya
paling berjasa selama saya hamil dan melahirkan adalah Mama. Gak kebayang kalau
gak ada Mama, kayaknya bakal berat banget beban ini. Mama selalu mengingatkan
saya untuk baca doa hamil dan terus berzikir.
Mama juga selalu mengurus keperluan
saya dari A sampai Z, bahkan ngejaga asupan makanan saya. Makasih, Maa..
Sekarang jadi tau gimana rasanya seorang ibu harus berjuang demi anak. Uhuhu.
Selain Mama, ada adik Mama, bi Neng, yang udah usapin punggung saat saya lagi kontraksi dan nungguin saya lahiran di rumah bersalin. Bi Neng juga jadi satu-satunya orang, selain bu Bidan, yang ngeliat langsung dedek ngebrojol, karena waktu itu Mama lagi salat. Makasih, bii...
Periksa pertama dengan Bidan Wulan (foto: Raisan Al Farisi) |
Terima kasih banget juga buat bidan Wulan, yang sudah menangani saya dari awal banget waktu saya ngasih hasil testpack, sampai saya ngebrojolin dedek.
Bidan Wulan juga udah biasa banget dengan suami saya yang setiap periksa kandungan harus foto-fotoin istrinya.
Waktu kontraksi lagi bagus-bagusnya, bu bidan terus nge-chat saya via Whatsapp untuk memastikan kondisi saya. Bahkan bu bidan ini menangani saya lahiran seorang diri lho, tanpa bantuan asisten. Semoga semuanya jadi pahala yang mengalir untuk bu bidan. Aamiin.
Terima kasih juga untuk semua keluarga. Untuk Bapak yang udah jadi kakek siaga, yang pengen dipanggil engkong karena dari Betawi. Sementara Mama pengen dipanggil Nini karena dari Sunda.
Untuk Aa dan Teteh. Untuk Papa, Mama, Adek yang langsung meluncur dari Bandung setelah dedek pulang ke rumah. Dan semua teman-teman yang mendoakan. Kiss semuanya :*
foto: Raisan Al Farisi |
foto: Raisan Al Farisi |
foto: Raisan Al Farisi |
foto: Raisan Al Farisi |
foto: Raisan Al Farisi |
Comments
Post a Comment