Napak Tilas ke Kota Cirebon -1
Cirebon jadi kota kenangan untuk saya dan keluarga. Di kota ini, kakek dan nenek yang saya sebut Bapak dan Mama Ageung, pernah punya rumah dinas. Dan masa kecil saya pernah dihabiskan di rumah itu.
Setelah Bapak Ageung meninggal di 1996, rumah itu resmi ditinggal dan keluarga besar semua pindah ke Bogor.
Alhamdulillah kali ini saya dan keluarga punya kesempatan untuk melakukan napak tilas. Ada beberapa tempat yang kita datengin, salah satunya rumah dinas Bapak Ageung di Jalan Samadikun.
Saya, suami, dan Rai yang jalan dari Bandung, janjian sama Bapak, Mama, Teteh, Aa, dan adik ipar yang jalan dari Bogor, di Batik Trusmi.
Kebetulan jalan lagi kosong banget, dari Cileunyi ke Cirebon lewat Sumedang-Majalengka cuma 3 jam perjalanan. Sementara rombongan Bapak lewat tol Cipali.
Batik Trusmi jadi lokasi pertama kita di Cirebon. Di sini kita mau puas-puasin belanja dulu supaya jalan-jalannya bisa khusyuk. Suami saya bahkan sempet-sempetnya liputan dengan motret proses pembuatan batik.
Ini kali ke-sekian saya mendatangi Batik Trusmi. Bahkan di 2016 saya sempat wawancara pemiliknya dan ikut belajar membatik di sini.
foto: Fira Nursya'bani |
Meski begitu, saya masih tetep takjub (dan kalap) karena di sini banyak banget barang yang unik-unik (walaupun kenyataannya saya gak beli apa-apa karena sibuk ngejar Rai yang lari ke sana ke mari).
Setelah keranjang belanjaan penuh dan kaki pegel, kita sudahi kunjungan di sini. Karena waktu sudah menunjukkan jam makan siang, kita langsung cus cari makan.
Ternyata gak jauh dari Trusmi ada warung makan Empal Gentong H. Apud yang terkenal. Walaupun penuh, kita tetep merangsak masuk ke sini. Alhamdulillah dapet tempat.
Padahal di sepanjang Jalan Juanda ini ada banyak empal gentong, tapi yang ramai dan terkenal ya di H. Apud ini. Selain ada empal gentong, di sini juga ada empal asem, sate, dan nasi lengko.
foto: Raisan Al Farisi |
Harganya juga gak mahal, empal gentong dan empal asem cuma Rp20 ribuan, nasi lengko Rp15 ribu, dan sate Rp30 ribuan.
Dari sini, kita langsung ke penginapan di daerah Bondol untuk salat dan istirahat. Kita akan keluar lagi setelah asar.
Tujuan kita selanjutnya adalah rumah dinas Bapak Ageung di Jalan Samadikun. Jujur aja saya dan teteh udah lupa banget sama jalan ini karena semuanya sudah berbeda, untung Mama masih inget.
Kita menyusuri Jalan Samadikun pelan-pelan. Sampai di sebuah titik, Mama minta kita berhenti. Di situ ada sebuah jalan kecil yang berfungsi sebagai jembatan.
Di bawah jembatan itu ada kali yang gak terlalu besar, juga gak terlalu kecil. Cuma kali itu berisi air yang menghitam. Jembatannya juga udah rusak di sisi kirinya.
foto: Amih |
Jembatan itu menuntun kita ke dua rumah. Rumah di sebelah kanan tampaknya gak berpenghuni karena bangunannya rusak dan gak terawat.
Dulu, rumah itu ditempati tetangga Ageung yang saya lupa namanya, tapi ingat wajahnya. Beliau punya cucu yang seumuran saya dan teteh, namanya Anggi. Entah sekarang keluarga itu ada di mana, semoga selalu sehat.
Dan rumah yang di sebelah kiri (diduga) rumah dinas pajak Bapak Ageung. Rumah bertuliskan Tiga Delapan itu ternyata masih ada penghuninya. Waktu kita ke sana, ada beberapa anak muda yang keluar rumah dari pintu samping.
Sejujurnya, ini pertama kalinya saya mendatangi rumah itu lagi setelah lebih dari 25 tahun. Saya tinggal di sini gak lama dan masih belum sekolah waktu almarhum Bapak Ageung meninggal.
Yang saya ingat dari rumah ini adalah, ada lobang sampah besar di depannya. Tapi lobang itu bukan tanah, seluruhnya disemen. Di samping rumah ada meteran air PAM yang sering saya mainin.
Rumah ini cukup besar, walaupun saya gak ingat detailnya gimana. Yang pasti rumah ini panas banget dan banyak nyamuk. Setiap malam saya selalu dengar suara tokek.
Kalau tidur di kamar Ageung, saya sulit nyenyak karena selalu dengar kendaraan lewat. Kamar Ageung memang letaknya di ruangan paling depan.
Saya gak pernah masuk ke dapur karena di dapur rumah ini banyak banget kucing, sedangkan saya fobia banget sama kucing. Kalau terpaksa ke dapur, saya akan naik ke kaki-kaki meja supaya gak tersentuh sama kucing.
Di belakang rumah ada tanah cukup luas. Ada banyak pohon-pohon gede. Saya jarang main di belakang karena males ngelewatin dapur.
Menurut penuturan mamang dan bibi saya, rumah ini berhantu. Banyak banget cerita seram yang mereka alami. Untungnya saya gak pernah ngalamin apa-apa sih.
Kayaknya panjang banget ya kalau diceritain soal kenangan rumah ini.
Karena langit semakin gelap, kita mengakhiri nostalgia dan beranjak untuk cari makan malam. Dadah rumah kenangaaaann....
Atas rekomendasi teteh, kita makan malam di Bakso Balungan Pak Joyo di Plered.
Cirebon malam ini syahdu karena hujan rintik-rintik. Rai yang kecapean akhirnya tidur di sepanjang makan malam.
foto: Fira Nursya'bani |
Oh iya, balungan ini artinya tulang. Jadi bakso balungan berarti bakso tulang. Emang ya, kalau ke mana-mana tanpa makan bakso rasanya kurang banget.
Alhamdulillah buat hari ini. Besok perjalanan masih panjang nih. Selamat malam dari Cirebon ~
Comments
Post a Comment