Mantai ke Santolo
foto: Raisan Al Farisi |
Dari zaman kuliah, nama Pantai Santolo udah sering banget saya dengar, tapi belum pernah sempat ke sana. Dulu sih jarang dapet izin orang tua untuk jalan jauh bareng temen-temen, bolehnya cuma bareng keluarga.
Katanya Pantai Santolo bagus banget dan pasirnya putih. Saya langsung membayangkan Pantai Sawarna dan Legon Pari. Tapi ternyata gak se-eksotis itu.
Kami harus menembus Kabupaten Garut dari ujung ke ujung untuk bisa sampai ke Pameungpeuk. Jalannya luar biasa berkelok dan berkabut.
Karena anak-anak gak terbiasa dengan jalanan yang ekstrem begini, satu per satu mulai tumbang. Emica gak mau lepas dari pelukan. Rainier bahkan muntah di dalam mobil karena masuk angin.
foto: Raisan Al Farisi |
Alhamdulillah setelah lihat laut mereka happy. Ini bukan pantai yang pertama buat anak-anak. Tahun lalu, Emica dan Rai ngabisin libur Lebaran di Pantai Karang Hawu, Sukabumi. Tiga tahun lalu, Rai juga pernah main ke Pangandaran.
Santolo masih mirip-mirip sama Palabuhan Ratu dari segi infrastruktur dan kondisi masyarakatnya. Dari segi keindahan alam, pasir pantainya sedikit lebih putih, tapi gak seputih pasir di Legon Pari.
Kamar penginapan yang kami sewa berhadapan langsung sama pantai. Pas sampai, anak-anak udah langsung ngajak main ke pantai, lupa kalau tadi mereka gak berdaya di sepanjang jalan. Sayangnya sore ini hujan dan pantai cuma bisa dinikmati dari dalam penginapan.
Karena tampaknya gak banyak rumah makan di sekitaran pantai, kami pilih makan malam di penginapan. Malam ini anak-anak tidur cepat supaya bisa puas main di pantai besoknya.
***
Begitu buka mata, belum makan, belum mandi, anak-anak udah merengek untuk lihat laut. Beginilah excited-nya anak gunung kalau ke pantai.
Awalnya Rai malu-malu buat nyentuh air laut. Ombak yang cukup besar sesekali menepi di kaki anak manis ini. Tapi lama-lama dia mulai memberanikan diri untuk maju ke bibir pantai.
foto: Raisan Al Farisi |
Bareng bapaknya, Rai akhirnya benar-benar berani mandi air laut. Dia pilih duduk di atas pasir dan nunggu ombak datang. Gak jarang badannya yang mungil ikut kegulung. Pandangan rasanya gak bisa lepas dari dia, was-was, padahal anaknya sendiri ketawa-ketawa kegirangan sampai gak mau udahan.
foto: Fira Nursyabani |
Mica beda cerita. Cukup kakinya yang nyentuh air. Badannya no no no. Akhirnya Mica dan saya nyantai agak jauh dari bibir pantai sambil ngemil berdua. Lucunya, setiap Rai dan bapaknya kena ombak, Mica teriak-teriak, takut mereka kenapa-napa. Mirip banget sama Rai waktu ke Karang Hawu dulu yang teriak-teriak tiap uwanya ngedeketin bibir pantai.
Butuh waktu lama untuk bujuk Rai supaya udahan main air. PR terberat saat wisata ke pantai adalah baju penuh dengan pasir, dan pasir pasir ini akan terbawa ke mobil, juga ke rumah.
Sebelum balik, kami makan seafood dulu di penginapan sambil menikmati pemandangan laut dengan lanskap Gunung Papandayan di belakangnya, sekali lagi.
Kami pilih rute berbeda untuk pulang. Dari Pameungpeuk, kami menyusuri garis pantai sampai ke Pantai Cidaun, Cianjur. Pemandangannya, masyaallah bagus banget, kayak di luar negeri.
foto: Raisan Al Farisi |
Jalannya mulus. Banyak padang ilalang luas dengan latar laut biru. Ada sapi-sapi liar juga. Kayaknya kalau pake mobil convertible bakal maknyus banget. Sayang gak bisa keluar foto-foto karena anak-anak tidur kecapean sepanjang jalan.
foto: Raisan Al Farisi |
Setelah mata dimanjakan dengan pemandangan ciamik, kontur jalan kembali ke setelan awal: berkelok dan berkabut. Rai sampai muntah lagi, gak kuat dengan manuver setir bapaknya yang tajam. Agaknya masih harus nunggu lebih lama lagi nih buat ngajak anak-anak jalan ke luar provinsi mwehe.
Comments
Post a Comment