'Mematikan' Karakter Orang Lain ?
pic: deviantart |
Ini obrolan saya dan teman-teman dengan seorang pelatih Paskibra saat saya masih kelas 2 SMP, kak Januar, biasa di panggil kak Away. Dulu kak Away masih duduk di bangku SMA, kini beliau sudah menjadi tenaga pegawai di salah satu instansi pemerintah.
Ini bukan bahasan perkuliahan, hanya pemikiran sederhana dari seorang anak manusia. Istilah “mematikan karakter orang lain” dipakai kak Away untuk mengungkapkan sikap-sikap yang kurang menyenangkan saat berkomunikasi atau bersosialisasi dengan orang lain. Contoh kecilnya: saat kita sedang mendengarkan orang lain berbicara, lalu orang tersebut tidak sengaja mengeluarkan tetesan air ludahnya, atau istilah lainnya ‘mucrat’, kita lebih memilih untuk mengomentari ‘air ludah’-nya yang biasa disebut ‘hujan lokal’, dari pada terus mendengarkan apa yang sebenarnya sedang ia bicarakan. Hal tersebut termasuk hal yang kurang menyenangkan dan dapat mematikan karakter orang tersebut. Walaupun dengan teman dekat, berlaku seperti itu membuat orang lain merasa tidak enak, dengan kata lain: malu. Malu karena telah diejek, dan malu untuk meneruskan pembicaraannya yang telah dipotong oleh ejekan ‘hujan lokal’ tersebut. Hanya candaan kecil memang, tapi bayangkan jika kita yang berada di posisi orang tersebut, bagaimana? Kalimat “woles aja kali, becanda ini.." kadang dipakai oleh seseorang yang kurang memperdulikan etika atau bahkan perasaan lawan bicaranya, sedangkan dirinya sendiri 100% tidak akan mau ‘dimatikan’ dengan cara seperti itu.
Saya pun punya pengalaman
terkait pematian karakter ini. Suatu hari saya bersama seorang teman saya sedang
berjalan di koridor fakultas bahasa yang penuh sesak dengan mahasiswa-mahasiswa
dari berbagai jurusan. Tiba-tiba teman saya bertemu kenalannya dari jurusan
lain. “Kenalin ini … (saya lupa namanya),
dia dari Bogor juga loh..” ujar teman saya mengenalkan orang itu pada saya.
Saya hanya senyum dan menyambut tangannya. “Oh
kamu dari Bogor? Di mana Bogornya?” tanya orang itu. “Ciawi” saya jawab singkat. Tiba-tiba orang itu mencibir dan
berbicara dengan nada keras “Ih, Ciawi kan
kabupaten, kalo aku Bogor kota sih!!!” Beberapa orang yang sedang berada di situ langsung melirik padanya. Saya tercengang, dan memandang orang itu dengan
heran, heran dengan komentar tentang ‘kabupaten’nya yang terkesan
berlebihan. Saya tidak merasa ada masalah ketika saya lebih menggunakan Bogor
daripada Ciawi untuk menyebutkan daerah kelahiran saya. Toh Ciawi bagian dari
Kabupaten Bogor, mustahil saya mengaku tinggal di Tasikmalaya. Orang dari kota
lain pun pasti lebih akrab dengan kata Bogor dari pada Ciawi. Jika orang
tersebut ada di posisi saya, apakah dia akan membela diri dengan memberi penjelasan
panjang lebar tentang hubungan antara Ciawi dan Bogor? Pematian karakter di
depan umum seperti itu meskipun dilakukan secara tidak sengaja, tetap saja
menimbulkan kesan pertemuan pertama yang kurang menyenangkan.
Kadang bersikap seolah-olah tidak
ada apa-apa memang dibutuhkan, komentar-komentar kecil yang tidak penting hanya
membuat garing. Hal lumrah, tidak disengaja, dan manusiawi yang
dibesar-besarkan membuat sesuatu yang sepertinya lucu, menjadi amat sangat
tidak lucu karena sudah menyangkut pe-mati-an karakter seseorang. Setiap orang
pasti pernah memiliki kesalahan, atau kebodohan kecil, tapi apa perlu selalu
dibahas dengan berlebihan?
Coba bayangkan bagaimana jika
kita berada di posisi orang lain.
Cheers..
saya sangat suka dengan tulisan ini....& saya menduukung "anti pembunuhan karater"
ReplyDeleteby ika wulan