Thamrin Awards

"Republika ya? selamat ya, berapa orang yang dapet?" bapak-bapak, ibu-ibu berpakaian batik yang gak saya kenal, bergantian ngucapin selamat sambil nyodorin tangan buat salaman. Saya cuma bisa senyum kaku, sementara pikiran melayang-layang dan kaki gemeteran.

Malam itu saya menghadiri acara Malam Penganugerahan Jurnalistik MH Thamrin-PWI Jaya ke-41 di Balai Agung, Balai Kota DKI Jakarta. Saya bareng dua rekan jurnalis Republika yang lain, April dan Bang Edy, diundang ke acara ini sebagai nominator.

Gak cuma kita bertiga, ada Pemimpin Redaksi Republika, Pak Nasihin Masha atau Pak Ing, yang juga diundang sebagai nominator.

Acara Anugerah Jurnalistik MH Thamrin-PWI Jaya atau biasa disebut Thamrin Awards adalah acara penghargaan tahunan dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jaya DKI Jakarta untuk Jurnalis media cetak, online, televisi, dan radio.

Kalau sebelumnya Thamrin Awards menyediakan delapan kategori nominasi, yaitu Tajuk Rencana, Foto, Karikatur, Artikel Layanan Umum, Artikel Layanan Publik, Features Layanan Televisi, Features Layanan Radio, dan Features Online, di acara yang ke-41 ini, ada penambahan tiga kategori khusus, yaitu Features Olahraga, Features Infotainment, dan Features Citizen Journalism (blogger).

Seluruh tulisan yang dikumpulkan ke panitia harus tulisan yang telah dipublikasikan pada periode terbitan antara 1 Juni 2014 sampai 31 Mei 2015. Semuanya harus bertemakan pembangunan DKI Jakarta.

Harian Republika edisi 28 Agustus 2015
sumber: epaper.republika.co.id

Harian Republika edisi 30 Agustus 2015
sumber: epaper.republika.co.id


Pak Ing, masuk nominasi dan jadi juara kategori Tajuk Rencana dengan artikel berjudul 'Mengatasi Kemacetan Ibu Kota'. Bang Edy masuk nominasi kategori Artikel Layanan Umum dengan artikel berjudul 'Matinya Pabrik Batik Terakhir di Setiabudi'.

April masuk nominasi dari kategori khusus Features Olahraga dengan artikel berjudul 'Gairah Sepak Bola dari Srengseng'. Saya masuk nominasi kategori Artikel Layanan Publik dari artikel berjudul 'Angkutan yang Tak Aman'.

Saya, Bang Edy, dan April kebingungan setengah mati karena sebelumnya belum pernah tau dan ikut lomba jurnalistik kayak gini. Akhirnya kita sepakat buat pake baju setengah resmi alias atasan kemeja dan bawahan jeans.

Bukannya gak mau pake batik, tapi pemberitahuan yang mepet menyusahkan saya dan Bang Edy buat nyiapin batik sebagai anak kosan.

Ternyata acaranya rame banget, ratusan orang hadir pakai batik (kayaknya cuma kita bertiga + Zuly yang pake setelan wartawan lapangan). Acara semakin rame waktu Gubernur DKI Jakarta, Pak Ahok, dateng ke venue.

Saya sejenak berpikir, ini wartawan anak bawang ngapain di sini, di acara yang penuh sama wartawan-wartawan senior, dan duduk di bangku nominator?

Awal Juni lalu, sekjen kesayangan Republika, Bang Maksus, minta fotokopi surat tugas buat daftar lomba di Thamrin Awards ini (secaraa anak bawang masih pake kode dan surat tugas, belum by line dan belum punya ID Card).

Agak bingung juga, tulisan saya yang mana yang mau diikutin lomba? Ternyata tulisan ficer panjang soal angkutan malam. Kaget , tapi seneng, dan setelah itu lupa.

Pak Ing, Bang Edy, Fira, April
dok foto: pribadi


foto: Aprilia Safitri
untuk Bapak dan Mama

Thamrin Awards jadi hal yang paling gak diduga selama jadi calon reporter. Ini perlombaan jurnalistik pertama yang saya ikuti (itupun didaftarin khayangan) dan (entah kenapa) langsung masuk nominasi.

Seneng, gak nyangka, dan pengen nangis. Waktu di panggung, saya ketemu nominator lainnya yang notabene wartawan-wartawan senior dan punya tulisan bagus-bagus.

Penghargaan ini jadi sedikit ngasih motivasi buat nulis lebih bagus. Kalau dulu motivasi jadi wartawan bisa kerja mobile dan jalan-jalan, seenggaknya sekarang saya punya semangat yang lain.

Jadi, penghargaan ini khusus buat Bapak, Mama, Teteh, dan Aa, tempat saya bisa pamer sepamer-pamernya. Buat khayangan ku tersayang, Republika, di Pejaten dengan bangunan tua klasik beserta isinya yang ngangenin.

Buat Mbak Nap yang udah kasih tugas nulis ficer panjang dan Bang Erdy yang udah ngedit dan ngejait tulisan mentah saya jadi ficer keren. Buat Bang Maksus yang capek bikin kliping buat dikirim ke panitia lomba. Dan buat kamu.



Sekilas cerita soal penulisan ficer panjang "Angkutan yang Tak Aman"

TOR FICER PANJANG UNTUK HALAMAN URBANA.
Deadline: Kamis, 16 Januari 2015
TEMA: Keamanan naik kendaraan umum pada malam hari
...

"Gilaaak... kebagian nulis ficer panjang..." kata saya terperangah liat e-mail masuk 9 Januari 2015. Dada nyesek seketika liat isi tor yang banyak banget. Dua tulisan, satu tulisan 7.000 karakter, satunya lagi 3.000 karakter.

Ada beberapa hal yang bikin saya agak shock dapet tor ficer panjang. Pertama, waktu itu saya gak biasa bikin tulisan panjang. Paling panjang 2.000 karakter, sisanya 1.000 sampe 1.500 karakter.

Kedua, saya harus bikin tulisan tentang angkutan umum Jakarta, sedangkan saya masih tugas di Kota/Kabupaten Bogor.

Ketiga, disela-sela pikiran yang bercabang, saya tiba-tiba kebagian jaga Polda karena waktu itu pos Polda kosong, gak ada yang isi. Padahal itu minggu terakhir sebelum pindah deks ke online.

Saya ngambek sama kantor.

Minggu, 19 Januari, --telat tiga hari dari deadline-- baru saya bisa selesein ficer panjang itu. Gak tau isinya koheren dan deskriptif apa nggak, langsung saya kirim ke khayangan. Selesai dan gak mau lagi berurusan sama tulisan panjang. Amit-amit.

"Fir, tulisan panjang kamu masih ada di email? Kirim ke email saya ya?" kata Bang Erdy, beberapa minggu kemudian, redaktur kabar kota. "Haaahh, saya bikin ficer itu mati-matian, taunya belum dinaikin di koran???" 

Saya ngambek lagi sama kantor, tapi terus koran Republika edisi 9 Februari 2015 saya bawa pulang ke rumah, karena di situ pertama kalinya tulisan saya dicetak satu halaman.

"Intinya, jangan dulu ngambek sama sesuatu, karena sesuatu itu bisa jadi hal besar buat hidup kamu, Fira," kata Mamah.


Urbana Harian Republika edisi 9 Februari 2015
sumber: epaper.republika.co.id

Comments

Popular posts from this blog

"Karma Dalem Boncel"

Kerajian Tangan Tas Sedotan

KICKFEST 2012