Kampung Warna Warni Jodipan
Ini
pertama kalinya saya mengunjungi Malang, pleus perjalanan kereta
terjauh saya seumur hidup. Gimana nggak, saya harus menghabiskan waktu
14 jam duduk di dalam kereta dari Bandung sampai Kediri. Setelah itu
dilanjut empat jam perjalanan dari Kediri ke Malang.
Tapi
Malang bukan kota yang biasa-biasa. Selain nasi bebeknya yang makyus
(sampe tiga kali makan malam terus makan nasi bebek tapi gak
bosen-bosen), di sini saya terpesona dengan satu kampung yang
menyilaukan mata, yaitu Kampung Warna Warni Jodipan.
Awalnya
saya lihat kampung ini dari atas kereta, soalnya kampung ini berlokasi
tepat di bawah jembatan kereta api di dekat Stasiun Malang. Akhirnya,
saya memutuskan untuk mampir ke kampung ini untuk menghilangkan rasa
penasaran.
Kampung
Warna Warni Jodipan terletak di Jalan Gatot Subroto, cuma berjarak
sekitar 1 km dari stasiun, jadi bisa ditempuh dengan jalan kaki.
Untuk
bisa masuk, kita harus membayar retribusi sebesar Rp 2.000 untuk biaya
perawatan dan kebersihan kampung.
Siapa
sangka, kampung yang katanya dulunya kumuh ini, kini jadi keren banget.
Di gerbang barat, saya disuguhi dengan deretan payung warna warni yang
digantung di sepanjang pintu masuk.
foto: Fira Nursyabani |
Setelah
masuk ke dalam kampung, saya dibuat melongo karena kampung ini lebih
mirip destinasi wisata kelolaan perusahaan swasta, daripada hunian
biasa.
Di sepanjang jalannya, paving block dicat warna warni,
lukisan-lukisan dibuat langsung di tembok-tembok kosong, dan warga di
sana banyak bikin kerajinan tangan yang dipajang di depan rumah.
Usut
punya usut, Kampung Jodipan bisa diubah jadi cantik atas usul kelompok
Guyspro dari Universitas Muhammadiyah Malang. Gak hanya Kampung Jodipan,
kampung tetangganya, Kesatrian, juga dicat warna warni dengan nama
beken Kampung Tridi Kesatrian.
Kedua kampung dipisahkan oleh Sungai
Brantas. Sayang, saya gak sempat main ke Kampung Tridi. Mungkin lain
kali yaa.
Di
perbatasan kedua kampung, saya bertemu dengan ibu Musafa, penjual
jasuke (jagung susu keju) dan gorengan. Beliau dan ibu-ibu lainnya
berjualan di pinggir Sungai Brantas yang bersiiihhh banget.
Ternyata
memang saya gak menemukan satu sampah pun tergeletak di tengah jalan
kampung ini.
Menurut
bu Musafa, kampung wisata ini belum berusia satu tahun. Pengecetan baru
dilakukan akhir Lebaran tahun lalu oleh tukang cat dan seniman-seniman
Kota Malang.
Karena para warganya sadar diri dan ingin melestarikan
kampung mereka, akhirnya mereka bertekad untuk memelihara kampung ini
untuk tetap jadi daya tarik wisatawan.
Hal itu terlihat dari
kebersihannya, keramahan warganya kepada pengunjung, dan keasliannya
yang terjaga.
foto: Fira Nursyabani |
Bu
Musafa merekomendasikan saya untuk melihat-lihat kampung di sebelah
timur. Saya melihat ada perpustakaan kecil dengan enam boks buku
sumbangan Universitas Brawijaya dan dua meja belajar. Lalu ada deretan
lampion digantung sepanjang halaman rumah warga.
Terakhir, di pintu
timur, saya menikmati tanjakan cinta yang dihiasi dengan bunga-bunga
yang ditempel di kawat dan dipasang sepanjang tanjakan. Katanya,
lambang cintanya masih dalam proses pembuatan.
Lalu
saya kembali ke bu Musafa untuk ngemil dan melepas lelah. Ibu-ibu
pedagang di sini banyak cerita dan banyak tawa. "Laku gak laku, yang
penting hepi," katanya.
Semoga rezeki ibu-ibu ini selalu mengalir deras
karena selalu menyambut tamu dengan baik. Semoga saya bisa datang lagi
ke Kampung Warna Warni Jodipan, dengan Raisan kecil. Ihihi.
Comments
Post a Comment