Bius dan Infus
Tiba-tiba saya bangun dengan sakit kepala dan nyeri yang hebat. Saya tolehkan kepala ke kanan dan ke kiri, berusaha mencerna keadaan.
"Tidur aja, bu, tidur," kata perawat yang lewat. Mata saya yang terbuka setengah tertuju pada jam dinding putih di dinding sisi kanan. Suasana cukup sepi, sampai detak jarum jam dinding itu terdengar cukup jelas.
Waktu di jam itu menunjukkan pukul 08.20 WIB. Sambil nahan nyeri, mata saya gak lepas dari jarum jam, berharap waktu berjalan cepat.
***
Lebih dari sepekan lalu saya ngerasa ada yang aneh setiap kali duduk. Seperti ada benjolan yang ketika dipegang terasa hangat.
Dokter obgyn yang menangani saya di sebuah rumah sakit di Kota Bandung, dokter Elsy, ternyata minta saya untuk rawat inap dan melakukan prosedur bedah. Menurutnya, saya terkena kista bartholin.
foto: Raisan Al Farisi |
Saya dirawat selama 4 hari, meninggalkan dua anak di rumah bersama ibu asuhnya. Di hari ketiga, saya naik meja operasi pukul 7 pagi.
Ini operasi besar pertama yang saya jalani selama hampir 30 tahun hidup di dunia. Diinfus pun untuk pertama kali.
foto: Fira Nursyabani |
Di saat-saat genting kayak ini, biasanya Mama selalu ngasih tahu doa apa yang harus saya baca. Jikalau Mama masih ada, beliau pasti sudah meluncur ke Bandung. Al Fatihah.
Di ruang tunggu depan ruang operasi, suami terus menggoda, berusaha membuat saya tertawa. "Inget-inget lagi deh pas kita jalan-jalan," celetuknya tiba-tiba.
foto: Raisan Al Farisi |
Laki-laki ini beberapa tahun terakhir gak pernah absen ada di samping saya dalam keadaan apapun. Kali ini pun kerjaannya harus terbengkalai.
Makan dan salat selama lima hari ini selalu dilakukan di sisi tempat tidur. Bahkan, meski picky eater, dia bisa bertahan makan makanan kantin rumah sakit dengan menu apa adanya.
foto: Fira Nursyabani |
Tapi gak pernah sekali pun keluar raut wajah masam. Mulai dari anter saya bolak balik ke kamar mandi pakai kursi roda (saking sakitnya dan gak bisa jalan), sampai nanggung biaya rumah sakit belasan juta (tanpa BPJS), senyum selalu tersungging di bibirnya.
***
Dari jauh terdengar sayup-sayup suara para perawat sedang berdoa. Setelah seluruh baju dan tempat tidur diganti, saya mulai dibawa ke ruang operasi. Ruangannya terasa dingin.
Di dalam, tangan saya direntangkan. Dokter anestesi kemudian berbisik, "ibu punten izin bade dibius." Saya mengangguk. Gak lama seorang perawat menyuntikkan sesuatu ke selang infus dan saya gak sadarkan diri.
Tindakan berlangsung hampir dua jam. Setelah tersiksa menahan sakit di ruang pascaoperasi sambil terus melihat jarum jam dinding, akhirnya saya diperbolehkan kembali ke ruang rawat inap.
Semakin lama, rasa sakit di luka bekas jahitan mulai menghilang meski saya sempat nangis sesegukan di depan suami. Tapi efek terbesar dari operasi ini bukan rasa sakit, melainkan ngantuk yang luar biasa. Saya curiga ngantuk ini akibat efek bius yang kuat.
Ada satu lagi pengalaman gak enak. Karena saya harus konsumsi banyak antibiotik, termasuk yang dimasukkan lewat selang infus, saya harus dites alergi di tangan.
foto: Raisan Al Farisi |
Waktu itu perawat menyuntikkan sesuatu ke tangan saya dan rasanya kayak disengat kalajengking. Sa-kit-ba-nget. Suntikan itu sampai berbekas merah. Untung sakitnya gak lama.
***
Betapa manusia cuma bisa berencana. Berencana buat ke Bogor untuk 40 harian Mama, sampai ambil cuti biar bisa lama di sana. Pada akhirnya Allah juga yang menentukan. Cutinya ternyata dipakai buat bedrest. Masyaallah.
Terima kasih dokter Elsy dan perawat-perawat di RS. Terima kasih Bu Atin yang 4 hari nginep dan ngurusin anak-anak di rumah. Terima kasih suami tercinta, Raisan.
foto: Satpam RS |
Comments
Post a Comment