Halfway (2)
Saya yang sewaktu SMA terlihat tomboy abis, rambut selalu pendek, cuma punya baju kaos, dan suka berpetualang, di pertengahan tahun 2010 banting stir jadi cewek kerudungan yang identik dengan kata “tobat."
Iya hampir semua teman bilang “lo udah tobat, Ra?”
Sebelumnya, gak ada sama sekali yang namanya pertempuran batin. Kepengen pakai kerudung itu mengalir begitu saja. Di awal-awal, jadi kerudungers itu berat, berat atas komentar orang lain.
foto: Fira Nursyabani |
Tapi ya cuek ajalah, namanya juga belajar jadi orang baik. Akhirnya di kota mode ini, saya memutuskan pakai kerudung permanen, sembari dibimbing teman-teman terdekat.
Nah! Pertengahan masa-masa kuliah, setelah beberapa kelas mengalami pencampuran, saya akhirnya punya teman deket alias gank yang dinamai Tagoni.
Jangan pernah menyangka Tagoni ini gank berisi cewek-cewek gaul maksimal yang menerapkan sistem gaul masa kini (3B – BB-Behel-Bonding). Kami hanya enam orang cewek yang notabene kerudungers dan doyan makan.
Tagoni. (dok foto Sastra Inggris B) |
Meski dari hobi, kesukaan, dan selera musik kami berenam beda banget (dari korea, rock, india, dangdut, lawas, sampai kasidah) tapi tetap saya merasa bersyukur alhamdulillah karena dipertemukan sama mereka, yang (agak) rajin belajar dan gak menomor satukan gengsi dan gaul ala sosialita.
Satu-satunya yang membuat saya merasa gaul adalah kesempatan jadi penata kostum untuk pertama kalinya di drama Where The Cross is Made karya Eugene O’neil di acara Welcoming Party ELF 2011 Resurrection.
Jadi, sewaktu saya datang casting, drama itu ternyata gak perlu banyak aktor perempuan. Akhirnya sang sutradara (yang sekarang udah bagai abang sendiri) memberi amanat kepada saya sebagai penata kostum.
Kostum hasil jerih payah saya huhu. (foto. ELF) |
Meski berat dan awalnya gak yakin bakal bisa karena harus menyediakan banyak kostum bajak laut, tapi setelah dijalani ternyata menyenangkan dan nagih.
Kesuksesan saya menjadi penata kostum di drama ini lah yang membuat saya dipercaya menjadi penata kostum di drama-drama (bahkan film pendek) lain yang diproduksi di dalam atau luar kampus.
Di situlah saya mulai senang menonton (bukan jadi pemain) pertunjukan. Tempat favorit ada di STSI, Gedung Indonesia Menggugat, dan Taman Budaya Jawa Barat (Teater Terbuka Dago Tea House).
Di samping menyenangkan dan sesuai dengan beberapa mata kuliah di kampus, menonton drama membuat saya belajar banyak hal (mengenai kostum terutama!).
Meski bukan anggota teater manapun, saya tetap senang menjadi penata kostum for-fun-while-learning (alias amatir) di lingkungan kampus.
Tapi, tentu saja pengalaman menjadi aktor pernah juga saya rasakan di pagelaran jurusan Bahasa Inggris.
Memerankan seorang putri Purba, yaitu Purbamanik, salah satu dari tujuh putri-putri purba di drama Lukas and The Time Machine (saduran dari Lutung Kasarung), merupakan pertanda saya lulus casting karena berbakat (*sombong* *oke lupakan*).
Raja dan Putri-Putri Purba. (foto: Richo Arifianto) |
Tapi apalah yang paling seru dari Bandung selain acara-acara anak mudanya. Acara yang favorit saya yang diadakan setiap tahun di Kota Bandung adalah Kickfest.
Acara clothing terbesar di Indonesia ini sebenarnya gak hanya diadakan di Bandung, tapi juga di kota-kota besar lain macam Jakarta dan Malang.
Gak hanya acara jualan baju distro yang murah, daya tarik Kickfest justru karena selalu menyuguhkan penampilan band-band Indie lokal. Gak afdol kalau anak gaul Bandung gak dateng ke sini sekedar buat menikmati musik-musik berkualitas milik anak bangsa (ciye gaya).
Masih banyak acara-acara lainnya macam Bragafest, Pasar Seni ITB, Festival Balon Udara, dsb dst dll. Ditambah lagi, kini Bandung punya banyak taman tematik yang pastinya banyak menyuguhkan acara-acara menarik yang memanjakan hasrat gaul anak muda.
Tidak hanya anak muda yang dimanjakan, warga Bandung dalam berbagai kelas juga dimanjakan dengan adanya pasar kaget terbesar di Bandung, yang beroperasi setiap hari Minggu pukul 4 subuh hingga 2 siang, di daerah Gasibu Bandung.
Pasar kaget Gasibu menjadi tempat favorit Mamah setiap main ke Bandung. Sehabis lari pagi di lapangan Gasibu, lanjut sarapan di depan monumen pancasila dengan banyak pilihan makanan yang enak dan murmer. Setelah itu, wisata belanja barang-barang murah siap melengkapi minggu pagi kita semua.
Makan sate maranggi di Gasibu. (foto: Fira Nursyabani) |
Keasikan hidup di Bandung berubah masam ketika musim pembuatan skripsi menyerang dunia perkuliahan. Jarang ketemu teman-teman, gak ada perkuliahan, ngejar-ngejar dosen pembimbing, dan hidup setelahnya selalu seputar itu.
Setelah sekitar satu tahun berlalu, skripsi ful bahasa Inggris dengan total kurang lebih 200 halaman akhirnya siap untuk diuji. Beberapa hari sebelum hari sidang, setelah daftar dan mengurusi berkas-berkas, saya mendapat informasi mengenai penguji sidang.
Jreeeng… kayaknya tiga-tiganya dosen yang lumayan..ehem..killer. Semangat saya mengurusi daftar sidang akhirnya menempatkan saya diurutan pertama yang akan diuji.
Tapi ajaibnya saat itu saya tidak (atau belum) merasa gelisah dan khawatir, hingga hari H tiba. Karena saya pikir semua materi skripsi sudah ada di dalam kepala saya, pagi itu saya merasa sangat santai, walaupun saya merasa sebagai orang pertama yang masuk ruang sidang, saya bakal jadi korban bully.
Dua dosen penguji sudah ada di ruang sidang. Baiklah, saya rasa saya akan mulai gugup ketika dosen ketiga datang. Ternyata sebelum dosen terakhir datang, nama saya sudah dipanggil untuk masuk ke dalam. Gak ada kesempatan untuk degdegan dulu kah barang sebentar?
Di dalam, dengan hanya dua dosen penguji, semua berjalan lancar. Sang dosen perempuan tersenyum sangat ramah, begitupun dosen laki-laki yang sebelumnya beradu argumen dengan saya (dan saya menang!).
Selesai. Selesai? Ya selesai setelah dosen ketiga mengatakan beliau tidak perlu menguji ulang saya karena sudah ada nilai bagus dari dua dosen yang di dalam.
Sorenya, hasil sidang diumumkan, saya lulus tanpa revisi. Alhamdulillah Ya Alloh.
Skripsi dan sidang ini juga mengubah penilaian busuk saya terhadap Bapak dan Ibu dosen yang saya kenal selama ini, hampura Bapak, Ibu…
Jika wisuda itu merupakan hal yang paling ditunggu-tunggu semua mahasiswa, mungkin tidak berlaku untuk saya. Wisuda hanya seremonial pelepasan, tapi semua orang dibuat bingung, kebaya, kamera, sanggul, hijab tutorial, penginapan, jas, rias wajah, dll dsb dst.
Wisuda.. (foto: Tantra Afianto) |
Dan ada satu hal yang pernah saya baca mengenai wisuda (lupa baca di mana), “wisudawan yang keren adalah yang tidak mengunggah foto wisudanya di mana-mana”, (saya cuma unggah di blog aja kok, suer!).
Tapi bagi saya, wisuda berarti waktu saya meninggalkan Bandung semakin cepat.
foto: Fira Nursya'bani |
Masa-masa jadi wartawan lepas untuk barbandung.com, menyusuri jalan-jalan Taman Sari, Dago, Siliwangi, Cihampelas di malam hari setelah nonton pertunjukan atau acara, mencari sensasi makan mie rebus enak dan teh susu di Dago dan Lembang, beli makan super murah di Jembarsari, dan jajan sepanjang Surip, tak kan pernah tergantikan.
Saat Bandung sedang berkembang dinamis dengan segala kreatifitasnya, saya pergi meniti jalan masa depan di kota lain.
Bandung, semoga kita jodoh lagi ya!
23 Agustus 2009 – 31 Agustus 2014
Bandung bukan cuma masalah geografis, bagiku, tetapi juga menyangkut perasaan.
-Pidi Baiq
Hehe..krudungers gokil :D
ReplyDeleteAya aya wae :)