Ibu Encum dan Ceker Ayam
"Buuu, cekeeeerrrr...." terdengar suara lantang ibu-ibu paruh baya dari luar pagar rumah yang membawa satu buah keranjang merah dan sebuah plastik hitam besar. Suara ini lah yang selalu saya rindukan setiap pulang kerumah, suara yang tak lagi muda, namun memancarkan semangat yang besar. Yap, namanya ibu Encum, setelah hampir enam tahun berlangganan, baru hari ini saya tahu namanya. Wajah bu Encum amatlah natural, tak pernah berdandan. Pakaiannya juga sangat sederhana, kerudung langsung pakai, baju, celana bahan, dan sendal jepit. Ibu Encum selalu berbicara menggunakan bahasa Sunda, namun dengan segera ia switch ke bahasa Indonesia saat berbicara dengan saya, lucu.
Apa yang istimewa dari bu Encum ini? Beliau menjajakan makanan dari pintu ke pintu, makanan apapun, dari pagi hingga petang. Meskipun saya tidak tahu di mana tepatnya bu Encum tinggal, tapi saya tahu kalau bu Encum menjajakan makanannya ke seluruh kampung. Memang bukan makanan bikinannya sendiri, beliau hanya bertindak sebagai penjual. Banyak makanan yang dijual bu Encum, jeroan dan ati ayam siap goreng, ceker ayam pedas, gorengan, sampai agar-agar mangkuk. Semua dagangannya disimpan didalam keranjang merah, keranjang yang dipakai bu Encum sejak enam tahun lalu saat saya mulai pertama kali berlangganan, kelas 1 SMA. Ada satu jenis makanan yang membuat saya menjadi pelanggan setia bu Encum, yaitu ceker ayam. Ceker ayam yang dijual bu Encum ini sudah matang, siap santap dan yang paling penting adalah bumbunya yang pedas. Ceker ayam ini juga lah yang membuat saya sedikit durhaka kepada ibu saya karena saya sering kali tidak mau memakan ceker ayam olahan beliau, saya hanya suka ceker ayam bu Encum.
pic: personal doc
Comments
Post a Comment