Walimatul 'Urs Fira-Raisan (4)
Gak ada yang lebih berjasa dibandingkan keluarga. Mungkin siapapun yang sudah
pernah menikah akan mengerti terkadang kemauan orang tua tidak sejalan dengan
kemauan kita. Padahal kita lho yang bakal jadi pengantin.
Begitu pun
saya dan Raisan, yang akhirnya lebih banyak mengiyakan keinginan orang tua,
mulai dari gedung sampai katering. Tapi bagaimanapun repotnya, saat-saat menjelang
pernikahan ini kerasa banget pentingnya kehadiran orang tua.
Bapak dan Mama. (foto: Dharma Widjayanto) |
Bapak
selalu minta konsep pernikahan yang besar. Meski gak minta yang mewah, tapi
Bapak gak setuju kalau pernikahan kita berdua diadakan hanya akad tanpa
resepsi. Awalnya saya, yang selalu bingung dengan konsep nikah dan selalu ingin
pernikahan yang sederhana, banyak menentang Bapak.
Tapi kapan lagi saya bisa
mengabulkan keinginannya? Ternyata pernikahan dengan resepsi ini memberikan
saya dan Raisan banyaaak banget rezeki yang bisa ditabung. Alhamdulillah.
Terima kasih, Pak.
Tapi ada
satu permintaan Bapak yang gak saya penuhi, yaitu mencantumkan gelar sarjana di
kartu undangan. Saya dan Raisan sepakat, gelar sarjana hanya dipakai untuk
orang tua, sedangkan nama kita berdua ditulis tanpa gelar.
Bukan berarti gak
bangga atau menyepelekan kebanggaan orang tua, saya hanya merasa pencantuman
gelar itu ada sedikit unsur sombong. Mungkin itu perasaan sendiri aja, tapi gak
pakai gelar gak masalah juga kan ya.
Saat semua
hal diurus langsung oleh saya, mulai dari cinderamata sampai dekorasi gedung,
Mama mengatur katering sendiri dari A sampai Z. Mama yang memastikan makanan
cukup untuk semua tamu dan keluarga, bahkan sampai para pembantu dan pekerja.
Alhamdulillah katering justru melimpah, yang akhirnya bisa dibagikan ke
tetangga satu kampung.
Oia,
selain ngurusin katering buat di gedung, Mama juga ngurusin katering untuk di
rumah. Karena jarak dari rumah ke gedung agak jauh, banyak tetangga yang
memutuskan untuk sowan ke rumah, sore selepas resepsi.
Kalau bukan karena Mama,
mungkin saya dan Raisan sudah keluar uang dua kali lipat untuk menyerahkan katering
seutuhnya ke Wedding Organizer.
Setiap
libur kerja, Mama juga selalu bikin bros sulaman sendiri, yang katanya untuk
tambahan cinderamata. Dalam waktu empat bulan, Mama berhasil bikin 200 bros
wool warna-warni, sendirian. Wow. Terima kasih, Maa.
Mama dan Papa. (foto: Dharma Widjayanto) |
Kita semua
tahu kalau Papa Bandung selalu sibuk, tapi Papa rela menyempatkan diri untuk
ngepas baju dan survei gedung. Papa juga sangat serius mengurus keluarga besar
Bandung, mulai dari transportasi saat acara nikahan sampai tempat tinggal
selama di Ciawi.
Bahkan Papa mau capek-capek urus hal kecil juga, misalnya urus
seserahan untuk saya. Meski Raisan anak laki-laki pertamanya yang sudah sangat
mandiri, kita tahu Papa tetap harus
memastikan semuanya berjalan dengan lancar. Terima kasih, Paa.
Papa juga hampir
setiap hari menghubungi via telfon dan memastikan kalau dia selalu siap dukung
kita secara finansial, mengingat kita berdua pakai uang pribadi untuk nikahan ini.
Semoga Papa menyadari kalau anak menantunya ini pinter atur uang, hasil lima
tahun bertahan hidup sebagai anak kos. Alhamdulillah kita bisa menikah tanpa
berhutang, dan justru masih menyisakan uang tabungan di luar uang resepsi.
Sedangkan
Mama Bandung yang paling saya sayang, menjelang resepsi langsung bertambah
kadar cerewetnya. Hihi. Tapi kalau Mama gak cerewet, mungkin saya gak bakal
dapat gedung di tanggal yang sudah ditentukan untuk resepsi dan mungkin
saya bakal ribet karena kebaya belum pas badan di detik-detik menuju hari H.
Mama juga
selalu mengingatkan saya dan Raisan untuk hemat, hemat, dan hemat. Tahu sendiri
lah ya kita berdua sering banget jalan-jalan, bahkan setelah lamaran kita cuti
bareng teman-teman ke Malang.
Pesan Mama untuk hemat bahkan terbawa sampai kita
benar-benar menjalankan kehidupan rumah tangga. Terima kasih, Maa.
Teteh dan Sarah. (foto: Dharma Widjayanto) |
Untuk
urusan printilan-printilan, saya hobi banget ngerepotin Teteh. Kalau gak ada
Teteh, gak tahu deh acara ini bakal kayak apa. Sedari awal Teteh sudah
dinobatkan sebagai bos dari segala bos, yang mengatur hal kecil sampai hal
besar.
Minggu-minggu
terakhir menjelang hari H, saya dan teteh sibuk bikin ucapan terima kasih untuk
tambahan souvenir. Kita berdua juga sibuk banget nyiapin seserahan untuk
Raisan, padahal cuma empat kotak, tapi ribetnya luar biasa.
Teteh juga mengatur
panitia keluarga yang akan diberdayakan selama acara berlangsung, terutama
sepupu-sepupu yang jumlahnya buanyak.
Foto: Muhammad Eldi Sudradjat |
Gak hanya
teteh, adik semata wayang saya, Farhan, mulai mengerahkan teman-teman dekatnya
untuk membantu acara. Dia juga menyewakan beberapa mobil khusus untuk
bolak-balik dari gedung ke rumah, yang sudah stand by sedari malam sebelum hari H.
Nah, malam sebelum acara dimulai, mereka berdua jadi seksi paling sibuk. Rasanya bete banget karena saya harus ‘dipingit’ dan diem di rumah, padahal mereka berdua bolak-balik kontrol pemasangan dekorasi ke gedung, beli ayam bakakak, dan pasang bunga dekorasi di mobil pengantin.
Dan untuk
semua pihak yang sudah berkontribusi hingga acara ini bisa berjalan mulus: Bu Encop, tim kostum, dan tim rias; Pak RT, Pak Amil, dan Pak Penghulu; Syawal, Pian, dan Oki; Herliana; Umi Aa dan tim masak; juga para pekerja dan pembantu yang gak kesebut.
Terima kasih ♥
Nah, malam sebelum acara dimulai, mereka berdua jadi seksi paling sibuk. Rasanya bete banget karena saya harus ‘dipingit’ dan diem di rumah, padahal mereka berdua bolak-balik kontrol pemasangan dekorasi ke gedung, beli ayam bakakak, dan pasang bunga dekorasi di mobil pengantin.
Kesibukan
mereka gak hanya sampai di malam itu. Pagi hari, 6 Agustus, saat yang lain
sibuk mempercantik diri sendiri. Aa dan teteh jadi orang paling terakhir
dandan.
Mereka bahkan gak dandan dengan benar, tapi saya gak marah karena kalau
bukan mereka yang memastikan semuanya siap, siapa lagi.
foto: Dharma Widjayanto |
foto: Dharma Widjayanto |
Saya
memberdayakan keluarga besar Bogor untuk jadi panitia pernikahan, adik-adik
Mama total ada 12 dan sepupu-sepupu semua ada 22 orang. Saya pikir, kalau pakai
baju bebas nanti jadi gak cantik difotonya.
Akhirnya saya memutuskan untuk
membelikan kain seragam untuk para sepupu, mulai dari yang paling besar sampai
yang paling kecil. Untuk urusan model baju, saya serahkan semuanya ke mereka. Sedangkan
untuk adik-adik Mama, saya sewakan kebaya dan baju beskap.
Terima
kasih yang paling spesial tentunya untuk keluarga Mang Miman. Mang Miman ini
saya minta untuk jadi saksi pernikahan dari pihak mempelai perempuan. Istrinya,
Bi Neng, jadi koordinator katering bersama si sulung yang sekarang sudah jadi
chef, Aga.
Sedangkan adik-adiknya, Adan dan Adin, juga berjasa banget bantu
menyebarkan undangan ke tetangga-tetangga rumah. Dan adik bungsunya, Aya,
berjasa ngerecoki calon manten hihi.
Saya
tentunya berterima kasih juga kepada Teh Itoh dan Mang Yan yang bantu
mencarikan WO dan tetap bersedia direpotin mesti harus mengurus anak bayi. Dan
untuk anaknya, Zahra, karena sudah bersedia urus gubugan dan jadi Qoriah
sebelum prosesi akad.
Lalu terima
kasih untuk Amih yang sudah jadi frontliner mulai dari acara lamaran sampai
acara nikahan. Juga untuk Eldi, fotografer keluarga, yang foto-fotonya ciamik,
gak kalah dari fotografer sewaan.
Untuk Noy, Uti, Epin, yang sudah jaga tamu dan
gubugan. Terima kasih juga untuk Mang Dedi, yang sudah mau bantu bikin bunga
hias sekaligus menghias Isak (mobil jadulnya Aa).
Kemudian
terima kasih untuk Bi Dini, yang mengingatkan saya untuk suntik TT sebelum
nikah dan ngurusi sewaan organ tunggal. Lalu kaka Onik yang repot-repot
beliin dan pakaikan kutek hitam untuk resepsi, juga bantu-bantu dandani
sepupu-sepupu.
Dan Bi Diah yang sudah sumbang banyak buah, biar tamu-tamu tetap
sehat. Terakhir Adis ku sayang yang jadi konsultan softlens, yang menginap di
rumah, bantu olesi kue, dan temani ke gedung subuh-subuh.
Comments
Post a Comment