Makhluk Sosial yang Tidak Berjiwa Sosial

“Manusia adalah makhluk sosial. Manusia tidak dapat hidup sendiri. Manusia selalu membutuhkan orang lain” itu yang saya pelajari selama dua belas tahun ‘memakan’ bangku sekolah.

Pada kenyataannya, manusia di dunia ini memang banyak sekali sehingga mustahil jika manusia hidup secara individual, tidak membutuhkan orang lain, dan tidak berinteraksi.

Tapi apa iya sebenarnya manusia itu makhluk sosial yang benar-benar memiliki jiwa sosial?

Sampah

foto: Fira Nursya'bani
Kesadaran akan sampah sebenarnya sepele, tapi jika sudah terjadi banjir, timbul penyakit, dan bau, barulah kita merasa ke-tampar kalau ternyata hal sepele itu tidak selamanya harus disepelekan.

Kita juga gak harus selalu menggantungkan masalah ini kepada tukang sampah. Beberapa dari kita bahkan hanya menumpuk-numpuk sampah tanpa ada tindak lanjut seperti membakar atau mendaur ulang.

Masyarakat di sejumlah tempat sering kali menolak pembangunan tempat pembuangan akhir (TPA) di lingkungan mereka dengan alasan tak sehat dan bau. Padahal, tanpa disadari mereka sudah membuat TPA sendiri dengan membuang dan menumpuk sampah sembarangan.

Saat musim hujan datang, tumpukan sampah-sampah itu menjadi momok. Ada ancaman banjir dan bau yang menusuk. Tak jarang, saat banjir masyarakat justru sibuk menyalahkan pemerintah, lupa kalau yang buang sampah itu mereka sendiri.

Kebiasaan menumpuk sampah berakibat fatal. Semua terkena imbasnya. Ungkapan 'berjiwa sosial' tak tercium karena tertutup baunya.

Antre
foto: Fira Nursyabani
“Aturan dibuat untuk dilanggar” ucap salah satu teman saya. Saya tidak tahu apa yang salah dengan pemikiran-pemikiran manusia yang (katanya) berjiwa sosial dengan mengeluarkan pernyataan yang aneh semacam itu.

Seharusnya manusia malu dengan adanya peraturan, mengingat kita adalah satu-satunya makhluk yang berakal di dunia.

Pihak berwenang membuat aturan dengan segala perhitungan. Bisa jadi mereka yang ahli dalam suatu bidang didaulat untuk mempertimbangkan peraturan tersebut sebaik mungkin dari sisi keselamatan, ketertiban, atau bahkan psikologis.

Jika kita melanggar, artinya dengan sombong kita menunjukkan bahwa kita lebih ahli dari para ahli yang membuat peraturan tersebut.

Mengantre salah satunya.

Antre tak sulit dilakukan bagi mereka yang sabar dan tahu peraturan. Meskipun aturan untuk mengantre tidak tertulis dan tertempel di mana-mana, namun antre sudah menjadi norma jika kita hendak bergiliran dengan orang lain.

Pada kenyataannya, sebagian orang justru abai dan tidak ingin ambil pusing dengan hal tersebut. Antre dianggap menyita waktu.

Padahal banyak orang yang dirugikan saat penyerobot antrean beraksi. Di sini, ada pentingnya kita memposisikan diri di posisi orang lain. Jika diserobot, tidak kah kita merasa kesal?

Lagi-lagi jiwa sosial tersisihkan dengan rasa egois. 


Menghalangi jalan

foto: Fira Nursyabani
“Kalau kalian ingin ngegosip mah sok aja, asal jangan di tangga,” ujar dosen statistika saya pada semester 4 lalu.

Ini hal sepele, sangat sepele, sampai setiap orang merasakan sendiri bagaimana terganggunya ketika ada yang menghalangi jalan.

Ada hak-hak pejalan kaki yang diambil saat orang lain memakai jalanan tersebut sebagai tempat duduk.

Ada juga segerombolan remaja yang berjalan lambat sambil bergandengan tangan dan bercengkrama satu sama lain di jalanan sempit hingga menyulitkan pejalan kaki lain. Dan banyak contoh-contoh lainnya. 

Padahal ini bukan perkara sulit. Saat jalan terhalang, jiwa sosial pun sama.

Selama ada orang-orang yang hidup bersama dalam masyarakat, maka selama itu pula selalu ada peraturan untuk mencegah orang menjadi biang kerok | Joy Masoff

Comments

Popular posts from this blog

Kerajian Tangan Tas Sedotan

Main di Kebun Teh Puncak

"Karma Dalem Boncel"