Dear Calon Guru di Universitas Penghasil Guru Terbesar di Indonesia...

PAUD Pamanukan. (Foto: Fira Nursyabani)

Guru, cita-cita saya sewaktu kecil. Memiliki cita-cita semulia itu tentunya tidak terlepas dari kekaguman saya terhadap kedua orang tua saya yang berprofesi sebagai guru.

Tanpa tahu bagaimana sulit dan kerasnya perjuangan menjadi seorang guru, saya merasa suatu hari saya ingin terus berinteraksi dengan anak-anak.

Namun, semakin lama cita-cita itu semakin memudar, bukan karena saya tidak lagi terkagum dengan profesi tersebut. Hanya saja semakin dewasa, semakin saya mengerti begitu berat tugas seorang guru yang sebenarnya. Saya tidak yakin saya mampu.

Julukan mulia pun disematkan kepada profesi mulia tersebut, pahlawan tanpa tanda jasa. Berkaca pada sosok kedua orang tua saya yang sudah berpuluh-puluh tahun bergelut dengan profesi ini, saya menyetujui, benar mereka pahlawan.

Kedua orang tua saya bukan pegawai negeri sipil (PNS), yang digaji tinggi oleh pemerintah dan disediakan berbagai tunjangan agar dapat hidup layak.

Begitu banyak masyarakat Indonesia yang berbondong-bondong mengikuti tes CPNS karena 'tergiur' pada 'tuntutan hidup layak' dari pada 'tuntutan dedikasi pada profesi'.

Lalu apa yang membuat kedua orang tua saya tidak tertarik pada hal itu? Mereka selalu menjelaskan, menjadi PNS itu (seharusnya) bukan tujuan utama seorang guru. Tugas guru yang sesungguhnya dititikberatkan pada mengajar dan mendidik.

Orang tua saya memegang prinsip, "apa yang dapat kami berikan kepada Bangsa, bukan apa yang dapat Bangsa berikan pada kami."

Prinsip yang dipegang itulah yang membawa mereka menjadi sosok guru yang jujur dan disegani. Mulai dari menjadi guru honorer yang digaji tak seberapa, lalu memakan asam garam di dunia pendidikan, kini, mereka dipercaya menduduki posisi tertinggi di sekolah masing-masing. 

Sekolah yang mereka dirikan bukan sekolah bonafit dengan bayaran tinggi dan segudang siswa berduit. Pinggiran kota menjadi target mereka dalam mendirikan sekolah, dengan tujuan agar anak-anak yang berada di perkampungan dapat merasakan pendidikan formal dengan layak.

Bukan biaya tinggi yang ditekankan, melainkan kualitas pengajaran, fasilitas memadai, dan siswa-siswa berprestasi. Begitu banyak kisah yang mereka ceritakan mengenai siswa-siswa mereka yang sebagian besar berasal dari kalangan menengah ke bawah.

Mulai dari mereka yang jarang masuk sekolah karena harus bekerja membantu orang tua, hingga mereka yang terpaksa putus sekolah karena disuruh menikah oleh orang tuanya. Saat itulah kedua orang tua saya berjuang mendatangi dan membujuk mereka agar bisa kembali bersekolah.

Hal tersebut mengingatkan saya pada acara-acara di televisi mengenai guru-guru yang mengabdi di pelosok-pelosok nusantara sana. Perjuangan mereka untuk mencapai tempat tertentu pun sudah begitu luar biasa.

Juga para aktivis-aktivis sosial yang membentuk sekolah-sekolah informal bagi anak-anak jalanan yang hidup di kota-kota besar dan tidak dapat mengenyam pendidikan dengan layak.

Bukankah mendapat pendidikan yang layak merupakan akar dari hidup yang layak?

Terbukti, tugas guru yang sebenarnya lebih lebih sulit dari sekadar memakai pakaian formal, menyiapkan RPP, masuk kelas, lalu menjelaskan pelajaran agar siswa paham.

Saat naluri mendidik lebih menguasai niat awal dari seorang guru, bayaran bukan lagi menjadi tujuan utama meski di dalamnya ada tuntutan untuk bisa 'hidup layak'.

Dear para calon guru di universitas penghasil guru terbesar di Indonesia,

Guru-guru muda merupakan akar dari keberhasilan bangsa. Guru digadang-gadang sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Namun guru seperti apa yang cocok diberi gelar tersebut?

Tentu bukan guru yang sibuk mempersiapkan tes CPNS dan bekerja seenaknya setelah mendapat penghasilan cukup.

Tentu bukan guru yang selalu memakan gaji buta dengan datang ke kelas dan memberikan tugas lalu pergi.

Tentu bukan guru yang hanya menyuruh siswanya mencatat seluruh isi buku di setiap pertemuan.

Tentu bukan guru yang membiarkan siswanya menyobekkan kertas dari tengah-tengah buku sebagai lembar jawaban ulangan.

Dan tentunya bukan guru yang 'ngaret' dan selalu memiliki 'anak emas'.

Buka mata, apakah kita akan melabeli diri kita sendiri sebagai seorang 'pahlawan tanpa tanda jasa' jika kita tidak berniat sungguh-sungguh menjadi seorang guru?

The aim of public education is not to spread enlightenment at all; it is simply to reduce as many individuals as possible to the same safe level, to breed a standard citizenry, to put down dissent and originality.
-H.L. Mecken

Selamat Hari Guru Nasional 2013

Comments

Popular posts from this blog

Kerajian Tangan Tas Sedotan

Main di Kebun Teh Puncak

"Karma Dalem Boncel"