Halfway (1)

Kuliah di Bandung memang sudah jadi rencana saya sedari SMP. Terlepas dari nantinya saya diterima kuliah di mana, yang penting bikin rencana dulu. Selepas SMA, Bandung checklist.

Sebagai anak rumahan yang kesehariannya cuma ngubek-ngubek Ciawi (kadang main ke kota Bogor kalau ada lomba-lomba Paskibra dan ke tempat nenek di kota Depok setahun sekali pas Lebaran), saya melihat Bandung sebagai kota yang keren.

Banyak tahu dari TV dan pernahlah sesekali ke sana, jalan-jalan atau jengukin teteh.

Perjuangan bisa tinggal di Kota Kembang nggak semulus yang saya bayangkan di waktu SMP. Pilihan sekolah lanjutan pertama yang disarankan orang tua adalah STSN, Sekolah Tinggi Sandi Negara, Parung, Bogor.

Karena gak mau mengecewakan, saya akhirnya ikut tes di sana dengan setengah hati. Hasilnya? Gak Lolos -_- Agak sedikit sebel sih (sekaligus senang!) karena setelah itu saya bingung mau daftar ke mana lagi.

Ditambah, waktu itu saya baru tahu kalau pendaftaran UM UPI sudah ditutup. UPI menjadi satu-satunya pilihan yang ada di otak saya waktu itu. Universitas Negeri, cocok di kapasitas otak, dan cocok di kapasitas keuangan orang tua.

Akhirnya saya ikut ujian SNMPTN di IPB dengan pilihan Sastra Inggris UPI, Akuntansi UPI (sumpah ini ngasal banget!), dan satu jurusan di IPB (lupa jurusan apa).

Tak lama setelah tes, nama saya terpajang di koran Radar Bogor sebagai siswa yang lulus SNMPTN jurusan Sastra Inggris UPI. Ya Allah terima kasih sudah memuluskan jalan untuk tinggal di sana.

Meski waktu itu kurang dapet respon baik dari Mama (Mama minta saya ikut tes jurusan kimia di Universitas Pakuan), tapi dukungan Bapak yang besar bikin saya makin yakin.

Masuk UPI lewat jalur SNMPTN ini bener-bener berkah. Tesnya gak mesti dateng ke Bandung, cukup di IPB D3, jurusannya bonafit, dan yang paling penting biaya masuk kuliahnya jauh lebih murah dari jalur UM.

Soal jurusan dan Universitas yang sama persis kayak teteh, itu urusan belakangan.

Masa-masa registrasi adalah masa yang bikin saya kegirangan setengah mati, bagai bocah saya membayangkan saya bakal tinggal di sini dengan bebas, tanpa menyadari kesedihan dan kepedihan yang akan menghantui kehidupan awal saya sebagai mahasiswa.

Hari-hari pertama tinggal di kosan secara resmi, saya menangis hampir di setiap kesempatan. Satu yang ada di otak saya: rumah. Hidup berasa berat banget.

Yang biasanya sehari makan empat kali, waktu itu sama sekali gak mau makan, bawaannya mual terus (gak hamil, sumpah!). Akibatnya, dalam kurun waktu kurang dari satu tahun, berat badan saya turun sekitar 7 kg.

Lagi-lagi badan kurus (yang tadinya gemuk) jadi bahan komentar orang lain, capek dengernya. Hiks.

Pembagian kelas di kampus menempatkan saya di kelas B2 dengan 13 orang lainnya. Dengan teman-teman yang sedikit saya merasa sedang ikut kelas les bahasa Inggris.

Bermacam-macam teman pun ada. Ada yang pinter (gak tau sok pinter atau pinter beneran tapi doi mendominasi kelas), ada yang baik macem ketua kelasnya yang sempet saya keceng di awal-awal bulan, ada yang sok asik, ada yang doyan SKSD, ada yang sukanya bikin acara (dari mulai nonton, makan-makan, sampe ngepel kampus bareng) supaya kita ber-14 lebih deket dan solid.

foto: Meyza Pritama
Semua berjalan mulus sampai suatu saat saya merasa teman-teman bersikap dan memandang aneh, ternyata semua karena saya (dan hanya saya yang) berkomunikasi menggunakan gue-elo, sedangkan yang lain pakai aku-kamu.

FYI, di Bandung, ngobrol pakai gue-elo dianggap agak sedikit sengak bagi sebagian orang.

Kisah keceng-mengeceng saya dengan ketua kelas tidak berjalan mulus (entah doinya gak suka sama saya atau doi gak tahu). Angin sepoi-sepoi pun membawa saya ke seorang anak band kikuk yang akhirnya jadi temen pedekate (ciee anak band…).

Jreeeng, kisah cinta pun dimulai. Tapi saya tidak akan menceritakan kisah cinta karena terlalu basi untuk diceritakan. Intinya pertemuan saya dengan sang anak-gaul-kota-yang-tinggal-di-kabupaten ini begitu membekas di hati karena beliau lah yang berjasa mengenalkan kota Bandung kepada saya. Horee…

Adalah susu Ijan, tempat romantis (yang sebenernya gak romantis-romantis amat) pertama yang pernah saya kunjungi. Tempatnya di daerah Ijan, deket ITC Kebon Kalapa.

Tempat jualan susu murni aneka rasa ini merupakan tempat tongkrongan warga Bandung yang murah meriah. Tersedia juga aneka kue dan cemilan, kesukaan saya susu coklat dan bacang.

Meski tempatnya gak bagus-bagus amat (sampai salah seorang teman saya bilang: “Kok mau sih Fir dibawa ke Ijan?”), tapi bagi saya susu Ijan ini nyaman banget buat sekedar nongkrong dan ngemil, dan romantis tentunya (yaiyalah datengnya sama pacar!).

Tempat ini jadi tempat favorit saya setiap mau mudik ke rumah.

Tempat favorit kedua adalah angkringan Jogja “Mas Jo” di Jalan Gelap Nyawang Kampus ITB. Tempat yang remang-remang tak membuat hasrat memudar ketika lapar menyerang dan yang ada dipikiran adalah makanan angkringan.

Pelayanan yang ramah dan lucu dari Mas Jo sang pemilik, juga makanan khas angkringan Jogja yang enaknya susah untuk diungkapkan, dan (yang paling penting) harganya yang murah, melengkapi sisa malam yang indah di kota Bandung (ya karena angkringan ini bukanya sore sampai malam).

Makan berdua sampe kenyang banget plus minum enak gak sampe Rp30.000. Bisa sambil ngobrol ngaler-ngidul, sampai marahan dan baikan lagi.

Nah itu top two fav food places yang ngangenin dan wajib dikunjungi kalau main lagi ke Bandung.

Selain susu Ijan dan angkringan Mas Jo, masih banyak banget tempat enak lainnya yang bisa jadi tempat penggemukan badan (walaupun saya gak gemuk-gemuk).

Dan yang paling penting, Bandung memanjakan saya dengan banyaknya inovasi kuliner pedas macam gehu pedas, Bakso Hot Jeletot, Ceker Setan, seblak, macaroni basah, iga mercon, dsb dst dll. Enak kan tinggal di Bandung?

Udah kerasan nih ceritanya....
Bersambung.

Comments

  1. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  2. Thank's Ade, meski ga diutarakan pasti ngerti kenapa. Membacanya memberi arti. Teriring do'a semoga sukses dengan karirnya, aamiin

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Kerajian Tangan Tas Sedotan

Main di Kebun Teh Puncak

"Karma Dalem Boncel"