Pulang Malam
"Kamu perempuan, kalau pulang malem sendirian bahaya, harus ada yang anter," kata orang-orang di kantor setelah ngeliat muka memelas saya menghadapi rumitnya malam.
Tapi buat saya, malam gak pernah rumit. Malam selalu menawarkan keheningan di tengah gemerlapnya lampu-lampu jalan.
Malam selalu indah untuk dinikmati, membuat sekecil apapun cahaya akan terlihat memukau.
Malam selalu indah untuk dinikmati, membuat sekecil apapun cahaya akan terlihat memukau.
"Tenaaaang, Allah jagain aku," kata saya ke mereka, lalu ber-dadah-dadah ria menuju halte Transjakarta.
Kalau hari sudah sangat larut dan Transjakarta di koridor 6 (jurusan Ragunan-Dukuh Atas 2 yang lewat halte Pejaten deket kantor) sudah pulang kandang, terpaksa saya minta diantar teman sampai halte Kuningan Timur, karena koridor 9 (Pinang Ranti-Pluit) beroperasi 24 jam.
Kalau hari sudah sangat larut dan Transjakarta di koridor 6 (jurusan Ragunan-Dukuh Atas 2 yang lewat halte Pejaten deket kantor) sudah pulang kandang, terpaksa saya minta diantar teman sampai halte Kuningan Timur, karena koridor 9 (Pinang Ranti-Pluit) beroperasi 24 jam.
Namanya Amari atau Angkutan Malam Hari, sosok besar berwarna oranye yang selalu saya tunggu di halte ini.
"Lamaaa..." kata saya dalam hati sambil terkantuk-kantuk.
Meski sudah larut, saya gak pernah sendirian. Ada beberapa perempuan berwajah kusam lainnya yang juga ikut nunggu Transjakarta. Kebanyakan dari mereka main dengan ponsel masing-masing.
Saya menengok ponsel sendiri, gak ada chat masuk seperti biasa. Lalu saya iseng update status di BBM, "Almost midnite, waiting for Transjakarta to come," simpan ponsel, dan memejamkan mata sambil berdiri.
"Lamaaa..." kata saya dalam hati sambil terkantuk-kantuk.
Meski sudah larut, saya gak pernah sendirian. Ada beberapa perempuan berwajah kusam lainnya yang juga ikut nunggu Transjakarta. Kebanyakan dari mereka main dengan ponsel masing-masing.
Saya menengok ponsel sendiri, gak ada chat masuk seperti biasa. Lalu saya iseng update status di BBM, "Almost midnite, waiting for Transjakarta to come," simpan ponsel, dan memejamkan mata sambil berdiri.
Tiba-tiba ada suara berisik, berisik banget. Ada dua orang bawa peralatan tempur yang ikut antre di tempat antrean perempuan.
Mereka, setelah saya tilik-tilik sambil ngantuk, ternyata (maaf) transpuan. Ini bukan pertama kali sih saya ketemu mereka.
Hampir setiap pulang larut malam selalu bersua, jadi udah biasa. Udah biasa kesindir karena mereka lebih cantik dari saya.
Mereka, setelah saya tilik-tilik sambil ngantuk, ternyata (maaf) transpuan. Ini bukan pertama kali sih saya ketemu mereka.
Hampir setiap pulang larut malam selalu bersua, jadi udah biasa. Udah biasa kesindir karena mereka lebih cantik dari saya.
*
*tring* Ada BBM masuk.
"Fira masih di jalan?" dari redaktur senior di kantor.
"Iyaa bang, tapi udah mau sampe kosan," kata saya gak yakin, sambil melihat sang Amari datang.
Karena Transjakarta menerapkan konsep syariah (perempuan dan laki-laki dipisah, eh tapi perempuan boleh deng diem di bagian laki-laki), saya langsung masuk ke bagian perempuan yang biasanya gak penuh-penuh banget.
Bagian laki-laki justru penuh, karena memang kebanyakan pekerja laki-laki yang pulang malem dan cuma perempuan perkasa (plus gak jelas) macem saya yang masih keluyuran tengah malem kayak gini.
"Fira masih di jalan?" dari redaktur senior di kantor.
"Iyaa bang, tapi udah mau sampe kosan," kata saya gak yakin, sambil melihat sang Amari datang.
Karena Transjakarta menerapkan konsep syariah (perempuan dan laki-laki dipisah, eh tapi perempuan boleh deng diem di bagian laki-laki), saya langsung masuk ke bagian perempuan yang biasanya gak penuh-penuh banget.
Bagian laki-laki justru penuh, karena memang kebanyakan pekerja laki-laki yang pulang malem dan cuma perempuan perkasa (plus gak jelas) macem saya yang masih keluyuran tengah malem kayak gini.
*
Semalem apapun, Slipi pasti selalu ramai. Saya bisa liat dari atas jembatan penyebrangan yang menghubungkan halte Slipi Petamburan dengan jalan Palmerah.
Mikrolet-mikrolet jurusan Kebon Jeruk dan Meruya masih ada beberapa yang ngetem di perempatan Slipi. Saya pilih salah satu, gak peduli kosong atau penuh, soalnya udah capek banget.
Mikrolet-mikrolet jurusan Kebon Jeruk dan Meruya masih ada beberapa yang ngetem di perempatan Slipi. Saya pilih salah satu, gak peduli kosong atau penuh, soalnya udah capek banget.
"Kalau pilih angkot hati-hati, apalagi malem, banyak kasus-kasus kejahatan di dalem angkot sekarang," kata Bapak suatu hari, pas tau saya suka pulang malem.
"Pa doain mudah-mudahan sopir-sopir M9 sama M11 baik-baik dan rezekinya lancar selalu, jadi gak perlu jahat." Aamiin. (Ayo semua aminin juga).
"Pa doain mudah-mudahan sopir-sopir M9 sama M11 baik-baik dan rezekinya lancar selalu, jadi gak perlu jahat." Aamiin. (Ayo semua aminin juga).
Kalau lagi suntuk dan ngantuk, setelah turun angkot saya langsung naik ojek sampai kosan.
Tapi kalau lagi galau dan perlu banyak waktu untuk menikmati malam, saya biasanya jalan kaki sampe kosan sambil pake headset dan nyetel lagu-lagu sendu.
Tapi kalau lagi galau dan perlu banyak waktu untuk menikmati malam, saya biasanya jalan kaki sampe kosan sambil pake headset dan nyetel lagu-lagu sendu.
"I need a fine wine, and you, you need to be nicer..." kata The Cardigans, di telinga saya.
*
Besoknya...
Buru-buru saya menuhin kuota minimal 13 berita buat hari ini, karena mau pulang ke rumah orang tua di Bogor.
Malam belum larut, dari lantai tiga kantor masih kedengeran suara klakson motor dan mobil bersaut-sautan, yang artinya jalanan masih macet.
"Selowlah, jangan pulang buru-buru.." kata temen-temen pas liat saya beresin tas.
Mereka memang godaan terbesar. Menyusun kata dalam tulisan di siang hari, menyusunnya dalam lisan di malam hari.
Ngobrol, ngopi, swafoto, curhat, gosip, kumpul sama mereka selalu buat saya senang bisa kerja di tempat ini.
Malam makin larut, saya pamit buat nyetop Mikrolet 36 jurusan Pasar Minggu-Jagakarsa yang lewat di depan kantor.
Naik angkot ini lebih praktis daripada naik Metromini 75 jurusan Pasar Minggu-Blok M yang biasanya suka kejebak macet di pertigaan Jatipadang.
Saya kembali jadi saksi bisu (eh nggak bisu deng) dari rumitnya lalu lintas Pasar Minggu. Mengingatkan waktu awal-awal tes masuk jadi jurnalis tahun lalu. Sendirian, gak ngerti, dan absurd.
 |
| foto: Raisan Al Farisi |
Kereta menuju Stasiun Bogor datang hampir setiap 15 menit sekali. Malam itu Stasiun Pasar Minggu lengang, karena memang udah malam.
Tapi begitu kereta datang, astagfirulloh penuhnyaaa. Untung badan saya kecil jadi bisa menyusup di kerumunan ibu-ibu.
Saya selalu memanfaatkan konsep syariah transportasi umum dengan memilih gerbong kereta khusus wanita.
Dari Stasiun Pasar Minggu sampai Stasiun Depok, saya berdiri karena gak kebagian tempat duduk dan gak tau mesti ngapain.
Lalu saya lihat ponsel dan tetep gak ada yang chat, jadi saya simpan dan saya mulai ngantuk. Di Stasiun Depok saya baru dapet duduk dan semenit kemudian saya tertidur.
Pernah kepikiran gak sih kalo goncangan di transportasi umum justru bikin kita semakin lelap tidur? Jadi jangan paksa saya buat gak tidur di kendaraan umum ya. Iya seterah.
Keluar stasiun, saya celingak celinguk nyari angkot 02 jurusan Sukasari-Bubulak. Tapi angkot yang saya naiki kemudian mulai menunjukkan gelagat aneh.
Sopir harusnya belok ke arah BTM, tapi ini justru menuju arah Lapangan Sempur dan masuk Taman Kencana. Gawat, saya pasti diculik.
"Neng mau kemana?" kata sopirnya.
"Saya mau ke Sukasari Pa."
"Wah neng salah naik angkot, ini mah sampe Baranang Siang, harusnya tadi naik yang ke Sukasari," kata dia lagi.
"Haaah???" saya cek ternyata angkot yang saya naiki adalah angkot 03 jurusan Baranang Siang-Bubulak. Saya salah naik angkot dan akhirnya turun di Jalan Pajajaran.
"Tuh neng, naik 01 ya kalau mau ke Sukasari. Hati-hati neng," kata sang sopir yang baru aja saya anggap mau menculik.
"Mamaaa...." rasanya mau nangis malem-malem di pinggir jalan.
Tapi begitu kereta datang, astagfirulloh penuhnyaaa. Untung badan saya kecil jadi bisa menyusup di kerumunan ibu-ibu.
Saya selalu memanfaatkan konsep syariah transportasi umum dengan memilih gerbong kereta khusus wanita.
Dari Stasiun Pasar Minggu sampai Stasiun Depok, saya berdiri karena gak kebagian tempat duduk dan gak tau mesti ngapain.
Lalu saya lihat ponsel dan tetep gak ada yang chat, jadi saya simpan dan saya mulai ngantuk. Di Stasiun Depok saya baru dapet duduk dan semenit kemudian saya tertidur.
Pernah kepikiran gak sih kalo goncangan di transportasi umum justru bikin kita semakin lelap tidur? Jadi jangan paksa saya buat gak tidur di kendaraan umum ya. Iya seterah.
Keluar stasiun, saya celingak celinguk nyari angkot 02 jurusan Sukasari-Bubulak. Tapi angkot yang saya naiki kemudian mulai menunjukkan gelagat aneh.
Sopir harusnya belok ke arah BTM, tapi ini justru menuju arah Lapangan Sempur dan masuk Taman Kencana. Gawat, saya pasti diculik.
"Neng mau kemana?" kata sopirnya.
"Saya mau ke Sukasari Pa."
"Wah neng salah naik angkot, ini mah sampe Baranang Siang, harusnya tadi naik yang ke Sukasari," kata dia lagi.
"Haaah???" saya cek ternyata angkot yang saya naiki adalah angkot 03 jurusan Baranang Siang-Bubulak. Saya salah naik angkot dan akhirnya turun di Jalan Pajajaran.
"Tuh neng, naik 01 ya kalau mau ke Sukasari. Hati-hati neng," kata sang sopir yang baru aja saya anggap mau menculik.
"Mamaaa...." rasanya mau nangis malem-malem di pinggir jalan.
*
Sukasari lengang, cuma ada beberapa bapak-bapak yang berdiri di pinggir jalan dan punya tujuan yang sama kayak saya: nunggu angkot jurusan Cicurug.
Meski ngantuk, saya tetep harus melek maksimal biar gak salah naik angkot lagi.
Saya yakin angkot jurusan ini aman meskipun saya jadi satu-satunya perempuan yang ada di dalam angkot itu. Soalnya bapak-bapak di angkot ngerti dan ngasih saya ruang duduk di deket sopir dan deket pintu.
Meski ngantuk, saya tetep harus melek maksimal biar gak salah naik angkot lagi.
Saya yakin angkot jurusan ini aman meskipun saya jadi satu-satunya perempuan yang ada di dalam angkot itu. Soalnya bapak-bapak di angkot ngerti dan ngasih saya ruang duduk di deket sopir dan deket pintu.
Jangan tidur, kalau bablas ke Cicurug lebih bahaya lagi.
Di Warung Nangka, pertigaan rumah saya, angkot udah gak ada selepas magrib dan diganti ojek yang beroperasi sampai larut malam.
Saya gak bisa jalan kaki sambil dengerin lagu sendu kayak jalan ke kosan, soalnya dari pertigaan ke rumah cukup jauh.
"Tok...tok.. Paaa, assalamualaikum," kata saya pelan-pelan.
Bapak bukain pintu, tapi gak komen apa-apa. Bapak belum tidur dan gak pernah tidur sebelum saya sampe rumah, padahal besoknya harus berangkat pagi ke sekolahannya.
Setiap ada di adegan ini, saya selalu merasa bersalah, tapi kalau saya pulang tiba-tiba tengah malem ke rumah tanpa bilang dulu ya lebih merasa bersalah lagi.
Bapak gak pernah protes setiap saya pulang malem, dari zaman saya suka ikut lomba-lomba Paskibra pas SMP/SMA, asal izin dulu.
Pas kuliah pun saya suka pulang malem, tapi gak ngerepotin Bapak, paling ngeberisikin tetangga kamar kosan sebelah.
Bapak tau, anaknya pulang malem bukan abis dugem. Pokoknya Bapak paling tau anaknya deh.
Di Warung Nangka, pertigaan rumah saya, angkot udah gak ada selepas magrib dan diganti ojek yang beroperasi sampai larut malam.
Saya gak bisa jalan kaki sambil dengerin lagu sendu kayak jalan ke kosan, soalnya dari pertigaan ke rumah cukup jauh.
"Tok...tok.. Paaa, assalamualaikum," kata saya pelan-pelan.
Bapak bukain pintu, tapi gak komen apa-apa. Bapak belum tidur dan gak pernah tidur sebelum saya sampe rumah, padahal besoknya harus berangkat pagi ke sekolahannya.
Setiap ada di adegan ini, saya selalu merasa bersalah, tapi kalau saya pulang tiba-tiba tengah malem ke rumah tanpa bilang dulu ya lebih merasa bersalah lagi.
Bapak gak pernah protes setiap saya pulang malem, dari zaman saya suka ikut lomba-lomba Paskibra pas SMP/SMA, asal izin dulu.
Pas kuliah pun saya suka pulang malem, tapi gak ngerepotin Bapak, paling ngeberisikin tetangga kamar kosan sebelah.
Bapak tau, anaknya pulang malem bukan abis dugem. Pokoknya Bapak paling tau anaknya deh.
*
"Kenapa gak bawa motor aja sih," kata Bapak suatu hari. Sebenernya gak suatu hari, tapi hampir setiap hari.
Saya tau Bapak pengen anaknya mandiri, bawa motor sendiri kemana-mana. Bahkan Bapak udah ngebeliin motor dari saya SMA, luar biasa kan.
Tapi saya gak mau, gak kepengen. Dari TK sampe SMA, setiap hari selalu dianter Bapak ke sekolah, jadi (ke)enak(an).
Pas mau masuk kuliah lain lagi. Karena motor yang Bapak beli dulu itu udah jadi hak milik adik saya, Bapak mulai kembali ngasih janji ala-ala caleg.
"Kalau Fira kuliah di Bogor, nanti Bapak beliin motor deh.." kata Bapak sesaat setelah saya diterima kuliah di salah satu universitas negeri di Bandung.
"Hehe.. Uangnya buat daftar kuliah sama kosan aja ya, Pa.. " kata saya sambil bersenandung kesenengan karena mau tinggal di Bandung.
Saya sadar sih, pasti pas kerja nanti saya akhirnya bakal beli motor dan menghabiskan waktu pagi dan sore di atas motor sampe kulit tangan dan muka menghitam.
Sampai akhirnya saya bertemu dengan seorang redaktur senior yang juga jadi mentor saya di tempat kerja (doi yang di atas nge-BBM pas saya pulang tengah malem ke kosan).
Obrolan panjang kali lebar kali tinggi ngalor ngidul saya sama Abang Daktur ini akhirnya bermuara pada obrolan soal harga bahan bakar minyak (BBM).
Katanya, kalau harga BBM naik, banyak orang yang beralih ke sepeda motor, banyak orang yang mengutuk pemerintah yang gak bisa ngebenahin transportasi, padahal peralihan ke sepeda motor itu bukan solusi, malah jadi masalah baru.
"Semakin banyak pengguna sepeda motor di suatu negara, semakin miskin negara itu," kata Abang Daktur itu sambil ketawa.
Saya meringis. Mulai hari itu saya semakin punya alasan kuat buat gak bawa sepeda motor sendiri.
Gak apa-apa deh ngantuk-ngantuk di jalan tengah malem nunggu angkutan umum. Masa saya harus berkontribusi memiskinkan Indonesia.
Siapa tau pemerintah nepatin janji buat mempercantik transportasi umum, yekan, siapa tau.
"Kenapa gak bawa motor aja sih," kata Bapak suatu hari. Sebenernya gak suatu hari, tapi hampir setiap hari.
Saya tau Bapak pengen anaknya mandiri, bawa motor sendiri kemana-mana. Bahkan Bapak udah ngebeliin motor dari saya SMA, luar biasa kan.
Tapi saya gak mau, gak kepengen. Dari TK sampe SMA, setiap hari selalu dianter Bapak ke sekolah, jadi (ke)enak(an).
Pas mau masuk kuliah lain lagi. Karena motor yang Bapak beli dulu itu udah jadi hak milik adik saya, Bapak mulai kembali ngasih janji ala-ala caleg.
"Kalau Fira kuliah di Bogor, nanti Bapak beliin motor deh.." kata Bapak sesaat setelah saya diterima kuliah di salah satu universitas negeri di Bandung.
"Hehe.. Uangnya buat daftar kuliah sama kosan aja ya, Pa.. " kata saya sambil bersenandung kesenengan karena mau tinggal di Bandung.
Saya sadar sih, pasti pas kerja nanti saya akhirnya bakal beli motor dan menghabiskan waktu pagi dan sore di atas motor sampe kulit tangan dan muka menghitam.
Sampai akhirnya saya bertemu dengan seorang redaktur senior yang juga jadi mentor saya di tempat kerja (doi yang di atas nge-BBM pas saya pulang tengah malem ke kosan).
Obrolan panjang kali lebar kali tinggi ngalor ngidul saya sama Abang Daktur ini akhirnya bermuara pada obrolan soal harga bahan bakar minyak (BBM).
Katanya, kalau harga BBM naik, banyak orang yang beralih ke sepeda motor, banyak orang yang mengutuk pemerintah yang gak bisa ngebenahin transportasi, padahal peralihan ke sepeda motor itu bukan solusi, malah jadi masalah baru.
"Semakin banyak pengguna sepeda motor di suatu negara, semakin miskin negara itu," kata Abang Daktur itu sambil ketawa.
Saya meringis. Mulai hari itu saya semakin punya alasan kuat buat gak bawa sepeda motor sendiri.
Gak apa-apa deh ngantuk-ngantuk di jalan tengah malem nunggu angkutan umum. Masa saya harus berkontribusi memiskinkan Indonesia.
Siapa tau pemerintah nepatin janji buat mempercantik transportasi umum, yekan, siapa tau.
Pejaten, Februari 2015
Comments
Post a Comment