UKW Angkatan Covid-19

dok. PWI Kota Bandung

Setelah berkecimpung di dunia kewartawanan selama hampir 6 tahun, saya dapat kesempatan untuk ikut uji kompetensi wartawan (UKW) tingkat muda. UKW ini memang ada beberapa tingkat.

Muda untuk wartawan di lapangan yang sudah berpengalaman minimal satu tahun. Madya untuk wartawan sekelas redaktur. Dan utama untuk wartawan sekelas pemimpin redaksi.

UKW angkatan XXXVII tahun ini sempat ditunda beberapa bulan karena corona. Tapi akhirnya terlaksana juga. Pelaksanaannya pun pakai protokol kesehatan. Panitia sudah bagi bagi masker, face shield, dan handsanitazer.

Waktu diminta kantor untuk ikut UKW, saya sempet kaget karena saya baru beres cuti melahirkan 3 bulan. Sejenak saya lupa, selain seorang ibu dua anak, saya juga ternyata masih seorang wartawan :))

Selain saya, ada 4 wartawan lain dari kantor saya yang ikut UKW: Naufal, Khansa, Husnul, dan Kang Irpan. Padahal media lain masing-masing cuma ngirim satu wartawan aja.

Kang Irfan, Husnul, Naufal, Fira, Khansa. (foto: Naufal Hafidz)

Kantor saya ni emang strict banget, semua wartawannya harus berkompeten. Jadi kantor gak tanggung-tanggung untuk ngeluarin uang banyak demi UKW.


14 September, saya dan wartawan-wartawan domisili Bandung ikut pra-UKW dulu di sekretariat PWI Kota Bandung. Di sini kami dikasih semacam kisi-kisi tentang ujian apa aja yang akan dihadapi saat UKW.

Katanya UKW digelar sampai malam. Jadi yang saya pikirin sebenarnya bukan bentuk ujiannya, tapi gimana saya bisa ninggalin dua anak di rumah dan gimana saya bisa pumping buat stok ASIP Mica.

Untungnya ada Mama dan Teteh yang nginep di rumah sejak seminggu lalu. Anak-anak insyaallah aman deh.


Besoknya, 15 September, UKW yang sebenarnya dimulai. Jam 08.00 pagi peserta sudah duduk manis di dalam aula Hotel Courtyard Dago. Kami juga sudah dibagi perlengkapan protokol kesehatan, plus kaos.

Tapi suasananya suram banget. Karena harus jaga jarak dan pakai masker, para peserta saling diem-dieman, gak ada yang ngobrol.

foto: Fira Nursyabani

Lucunya, peserta perempuan yang ikut UKW cuma 3 dari 36 peserta. Dan kebanyakan yang ikut UKW ini bapak-bapak yang ambil jenjang wartawan muda. Hebat sih, meski udah berumur, mereka tetap ikut ujian macam ini.

Acara baru dimulai sejam kemudian, yang diawali dengan seminar berjudul 'Bijak Memilih Investasi'. Sebagai orang tua yang udah mulai investasi, saya udah nyiapin banyak pertanyaan nih di otak, katanya narsumnya langsung dari orang bank.

Ternyata eh ternyata, narsumnya diganti jadi Sekda Kota Bandung. Bapak Sekda memang datang ke acara ini dan ngasih sambutan sekaligus membuka acara. Tapi beliau harus langsung pergi lagi karena ada urusan penting.

Yang jadi narsum akhirnya Kabid Humas Pemkot Bandung, yang tadinya datang cuma sebagai pendamping pak Ema :)). Narsum kedua adalah Ketua DPRD Kota Bandung.

Seketika pertanyaan-pertanyaan di otak saya langsung buyar. Kedua narsum banyak ngebahas tentang pemulihan ekonomi Kota Bandung, dan gak sama sekali ngebahas soal investasi :)).

Baik.

Waktu istirahat tiba saya sempat pumping di musala. Dan setelah makan, peserta yang udah pakai kaos UKW, diminta untuk ganti baju pakai baju biasa.

Saya masuk kelompok satu bersama Kang Dimas dari sinarpaginews.com, Pak Adhi dari jelajahnusae.com, Pak Remy dari Koran Tekad, Pak Asep dari Kabar Priangan, dan Bayu dari Republika (eh ada mantan).

Kang Dimas, Fira, Bayu, Pak Asep, Pak Remy, Pak Adhi. (foto: Pak Adhi)

Pengujinya adalah ibu Rita Sri Hastuti dari PWI Pusat. Sebelumnya saya sempet dapet kabar kalau bu Rita ini penguji yang detail dan tepat waktu banget, jadi rada waswas. heu.

Ujian pertamanya tentang pemahaman Kode Etik Jurnalistik, UU Pers No.40 Tahun 1999, sama Pedoman Pemberitaan Ramah Anak (PPRA). Sebenernya ujian ini gak susah-susah banget sih. Peserta bahkan diperbolehkan untuk buka Google.

Setiap jawaban ujian harus diketik di laptop dan diprint. Panitia UKW sudah menyediakan banyak printer untuk dipakai oleh peserta.

Mata uji kedua adalah merencanakan liputan. Kami diminta membuat 2 TOR liputan, yang mencakup tema, cakupan, narasumber, angle, daftar pertanyaan, hingga biaya.

Tapi sebelum tugas kedua ini selesai, kami sudah diminta untuk ikut mata uji ketiga, yaitu mencari liputan terjadwal. Sebenarnya di mata uji ini kami diminta ikut simulasi konferensi pers.

Yang jadi narasumber di mata uji ini adalah Sekretaris Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Bandung. Sayang, saya gak kebagian ngasih pertanyaan di sesi tanya jawab karena waktunya terbatas.

Dari sini kami langsung diminta melakukan wawancara cegat/doorstop dengan narasumber yang sama. Agak hectic sih mengingat satu narasumber dikerubuti oleh 3 kelompok. Untungnya di sini saya kebagian nanya.

Ujian berlanjut dengan nulis berita. Kami diminta nulis hasil simulasi liputan barusan. Setelah itu, kami diminta untuk menyunting hasil tulisan sendiri.

Mata uji selanjutnya adalah menyiapkan rubrik. Kami harus menentukan rubrik mana yang cocok untuk dua tema rancangan liputan dan satu berita liputan terjadwal tadi.

dok. PWI Kota Bandung

Di ujian selanjutnya, yaitu rapat redaksi, kami harus menentukan berita mana yang akan jadi headline. Karena di sini gak ada wartawan madya, Pak Adhi didaulat untuk memimpin rapat.

Tapi menurut saya rapatnya agak aneh karena ada anggota kelompok yang gak fokus. mwehe.

Selesai sudah ujian kali ini. Waktu sudah lewat magrib dan suami saya sudah menunggu di luar. Kami masih diminta untuk melengkapi jawaban ujian yang belum lengkap sambil nunggu kelompok lain kelar.

Di saat kelompok lain masih 6-7 mata uji, kelompok saya sudah melakukan 8 mata uji. Karena kelompok saya kebanyakan bapak-bapak, mereka cukup kewalahan dengan materi-materi uji yang harus dikerjakan dengan cepat.

Ternyata benar, bu Rita ini penguji yang tepat waktu. Para panitia bahkan mewanti-wanti supaya kami gak telat esok harinya.


Besoknya, 16 September, saya minta suami ngebut karena gak mau telat UKW hari kedua. Alhamdulillah sebelum jam 08.00 saya dan para bapak-bapak sudah duduk manis di aula.

Bu Rita datang tepat waktu dan tanpa basa basi langsung memulai mata uji kesembilan, yaitu wawancara tatap muka. Di sini kami saling mewawancara satu sama lain. Karena bukan pakar, jawabannya ngawur, tapi seru.

Saya jadi narasumber buat pak Asep. Dan waktu giliran saya wawancara, narasumbernya pak Adhi.

Mata uji ini bisa dilalui dengan mudah. Tapi selanjutnya kami harus menghadapi mata uji terakhir yang bikin keringet dingin, yaitu membangun jejaring.

Jadi, kami diminta untuk bikin daftar nomor telepon 20 narasumber yang paling sering dikontak. Ini cukup memusingkan buat saya karena dalam kurun waktu 1,5 tahun ini, semenjak jadi asisten redaktur, saya jarang banget nelfon narsum.

Belum lagi saya udah berulang kali ganti hape dan kontak-kontak narasumber yang dulu-dulu entah ke mana. Untuk ikut mata uji ini, saya sampe minta banyak kontak narasumber ke suami.

Ceritanya saya jadi orang kedua di kelompok yang dipanggil bu Rita ke mejanya untuk diminta nelfon narasumber. Narasumber pertama ditunjuk bu Rita untuk saya telfon adalah seorang anggota DPD DKI Jakarta, tapi belio gak ngangkat heheu.

Ibu Rita Sri Hastuti. (dok. PWI Kota Bandung)

Lalu saya diminta untuk nelfon bapak Setia Irawan, CEO Koperasi Ponpes Al Ittifaq Ciwidey. Kebetulan Maret lalu saya sempat liputan ke tempatnya, dan alhamdulillah telfon saya diangkat. Cuma pak Irawan lagi rapat, jadi saya gak sempet ngomong banyak

Narasumber selanjutnya yang ditunjuk bu Rita adalah Kepala BMKG Bandung, bapak Tony Agus Wijaya. Beliau juga ngangkat telfon saya, tapi karena ada urusan jadi gak ngomong banyak.

Narasumber selanjutnya adalah Humas Trans Studio Bandung, tapi gak ngangkat hehe. Lalu saya diminta telfon atlet downhill Jabar, Fahraz Alparisi. Kebetulan doi ngangkat telfon saya dan kita sempat berbincang sedikit.

Alhamdulillah bu Rita bilang saya lulus mata uji ini. Terima kasih semua narsum yang sudah membantu. Pak Irawan dan pak Tony bahkan ngewasap saya dan bilang akan nelfon balik, makasih bapak-bapaak..

Setelah itu bu Rita mengevaluasi seluruh hasil UKW saya dan nunjukkin nilai yang saya peroleh. Untuk bisa lulus, semua mata uji nilainya harus 70 ke atas.

Padahal selama ujian saya pede banget, tapi nilainya tetep mepet mepet semua ke angka 70 haha. Nilai paling besar yaitu 85, untuk mata uji nulis berita.

Walaupun udah pernah liputan kuliah umum Barack Obama, wawancara eksklusif Menlu Retno Marsudi, nelfon mendiang Julia Perez, dan dapet Thamrin Awards, ternyata nilai saya tetep pas-pasan. Gusti.

Tapi secara keseluruhan saya dinyatakan kompeten sebagai wartawan. Alhamdulillah 'ala kulli hal.

"Saya senang ada wartawan perempuan dan lulus di uji kompetensi," kata bu Rita. Terima kasih banyak, ibu hebat!

Saya masih harus menunggu semua teman sekelompok dan seruangan selesai mengikuti rangkaian ujian. Lumayan lama sih, saya nunggu hampir dua jam.

Lewat waktu zuhur, acara pun ditutup. Perwakilan penguji mengatakan dari 36 peserta ada 34 peserta yang dinyatakan tidak kompeten dan bisa ikut UKW lagi tahun depan.

Dalam rangkaian penutupan, bu Rita yang mewakili PWI Pusat sempat menyinggung peserta perempuan yang langka. "Perempuan hanya 3, tapi hebat sekali. Semoga semakin banyak wartawati di lapangan yang berkompeten," katanya. Eciee..

Kami lalu berfoto-foto ria. Semuanya bersenang-senang, gak suram lagi meski masih pakai masker.


Akhirnya jadi wartawan yang diakui negara juga yaa.

Comments

Popular posts from this blog

Kerajian Tangan Tas Sedotan

Main di Kebun Teh Puncak

"Karma Dalem Boncel"