6 Tahun Bersyukur

foto: Raisan Al Farisi

Pernikahan memang gak selalu mudah, terutama buat kami yang gak selalu satu server. Satu ekstrover dan yang satunya lagi introver. Satu punya love language physical touch & act of service, satunya lagi quality time.

Tapi untuk bisa bertahan sampai di titik ini, saya bersyukur. Bersyukur untuk pasangan yang selalu memahami meski saya gak banyak bicara, memaafkan meski saya sering berbuat keliru, dan memberi meski gak banyak menerima timbal balik dari saya.

Sebagai perempuan yang pernah terjebak dalam toxic relationship, diselingkuhi berulang, dibohongi, dibodohi, dikasari, dimanfaatkan, my love life now is well deserved. Saya selalu ingin dipeluk saat menangis, ingin diusap saat sakit, ingin didengarkan saat bercerita, dan ingin dirangkul saat sedih. 

Di tahun keenam, kesibukan masing-masing dan kesibukan bareng anak-anak cukup sering bikin kami berpaling dari satu sama lain. Kesempatan ngobrol biasanya cuma hadir di jalan saat antar jemput, itupun kalau pikiran kami gak penuh dengan masalah kerjaan.

Kalau ada kesempatan me-time biasanya kami makan siang bareng, motor-motoran berdua, atau nonton film streaming setelah anak tidur (ini paling sulit karena saya gak bisa bergadang).

Sulit bergadang ini jadi salah satu perubahan ekstrem yang saya rasakan setelah menikah. Sewaktu kuliah dan kerja jadi wartawan lapangan dulu, rasanya aneh kalau tidur cepat. Kayak ada yang belum terurus. Jam 9 terasa masih pagi, masih banyak waktu untuk nongkrong dan beraktivitas.

Tapi setelah nikah dan punya anak, jam 9 justru jadi batas tidur.

Tapi kenapa ya bapak-bapak tetap bisa bergadang dan bisa tidur pagi? Harusnya kan bapak-bapak jadi selayaknya orang tua.

Bandung, 6 Agustus 2023

Comments

Popular posts from this blog

Kerajian Tangan Tas Sedotan

Main di Kebun Teh Puncak

"Karma Dalem Boncel"