Rainier Suraiya (1)

foto: Fira Nursya'bani

Hari Minggu pagi, 8 Juli 2018, bercak darah mulai muncul. Agak kaget sekaligus senang luar biasa, karena katanya bercak darah ini menandakan persalinan akan terjadi sebentar lagi dan artinya saya bakal cepet-cepet ketemu dedek. Yeay!
 
Hari ini usia kandungan saya tepat memasuki minggu ke-38. Masih ada waktu dua minggu lagi sih sampai ke hari perkiraan lahir (HPL) yang jatuh pada 22 Juli. 

Saya memang selalu berdoa dan meyakinkan diri sendiri, juga menyakinkan dedek, untuk bisa lahiran gak melebihi HPL dan dengan cara yang normal. Tapi setelah dapet tanda-tanda bercak darah secepat ini, kok malah jadi deg degan yaa.

foto hamil terakhir (foto: Raisan Al Farisi)
Saya dan suami langsung pergi ke bidan untuk periksa. Cuma, karena waktu itu belum ngerasain kontraksi, jadi belum periksa pembukaan.

Bidan minta saya untuk mengenali tanda-tanda kontraksi dan mewaspadai pecah ketuban. Kalau semuanya terjadi, saya harus segera datang ke rumah bersalin.

Setelah selesai periksa, saya dan suami gak langsung pulang ke rumah. Rasanya kita pengen jalan-jalan dulu sebentar untuk melepas bosan dengan makan sate maranggi dan beli kelapa muda.

Kita juga sempet foto-foto pakai instax, karena udah lama banget pengen mengabadikan perut yang besar ini dengan kamera Polaroid.

Sore harinya suami harus pergi ke Jakarta karena harus ikut bimbingan teknis (bimtek) official photographer Asian Games 2018. Tepat setelah suami pergi, saya baru nih ngerasain gak enak perut mirip kontraksi.

Awalnya saya bingung juga ya, kontraksi itu kayak gimana rasanya. Menurut info yang saya baca, kalau pusar (udel) udah keras kayak tembok, artinya kita sedang kontraksi.

Setelah merasakan sendiri, menurut saya, kontraksi itu mirip kayak nyeri haid tapi kekuatannya puluhan kali lipat. Isi perut kayak diremas. Ambil posisi gimanapun rasanya tetep sama, gak nyaman.

Semakin malam kontraksi yang saya rasakan semakin kuat. Setelah saya hitung, kontraksi itu datang 10 menit sekali dengan durasi sekitar 1 menit.

Awalnya saya masih terus melaporkan keadaan saya ke suami. Tapi mengingat suami harus istirahat untuk ikut pelatihan esok harinya, saya memutuskan untuk rasa-rasain sendiri kontraksi itu di sepanjang malam.

Dan di malam ini saya gak tidur sama sekali. Makin lama makin dahsyat rasanya. Subhanallah..

Akhirnya subuh tiba. Saya langsung bilang ke Mama untuk minta anter ke bidan karena sudah berasa kuat banget kontraksinya. Jam 08.00 pagi, Senin, 9 Juli 2018, saya tiba di bidan sambil bawa dua tas yang berisi barang-barang perlengkapan bersalin.

Setelah diperiksa, ternyata saya masih pembukaan satu. Bidan bilang saya bisa pulang dulu dan balik lagi jam 15.00, mengingat pembukaan satu ke pembukaan empat biasanya membutuhkan waktu yang cukup lama.

Lalu saya yang ditemani Mama dan Bapak, pulang lagi ke rumah. Waktu itu Bapak pamit pergi rapat sebentar, sambil bawa tas-tas perlengkapan persalinan saya yang ditinggal di mobilnya.

Oh ya, sesampainya di rumah saya menyempatkan diri untuk ngelansir berita lho. Hari ini memang saya masih masuk kerja. Waktu saya bilang ke kantor mau majuin cuti karena sudah berasa kontraksi, reaksi kantor gak terlalu bagus, saya malah masih disuruh lansir berita dengan alasan gak ada reporter yang ganti. Kejam ya.

Setelah ngelansir dua berita (yang dua-duanya kemudian naik ke koran di keesokan harinya), saya menyerah karena kontraksinya udah semakin dahsyat dan superdahsyat. 

Sambil nangis tersedu-sedu, saya ditenangkan Mama dengan doa dan usapan air zamzam di perut. Juga ada bibi yang setia elus-elus punggung saat saya nungging-nungging kesakitan.

Berita 1, Internasional Harian Republika edisi 10 Juli 2018

Berita 2, Internasional Harian Republika edisi 10 Juli 2018

Sakit kontraksi ini adalah rasa sakit terbesar yang pernah saya rasakan seumur hidup. Di dalam pikiran cuma ada satu hal: saya bakal meninggal.

Suami yang lagi ikut bimtek akhirnya dikabari keluarga dan memutuskan untuk izin dan pulang ke Bogor. Saya sempet ngelarang dia untuk izin karena bimtek itu penting banget kan buat dia. Tapi dia bersikukuh mau pulang, mungkin dia punya firasat saya bakal lahiran hari ini.

Benar aja. Karena kontraksi sudah terasa tanpa jeda, saya ajak Mama untuk pergi ke bidan lagi. Tapi waktu itu saya masih harus nunggu Bapak yang katanya lagi di jalan pulang. 

Di depan rumah, saya bahkan udah ngerasain mules mau keluar. Rasanya kayak pengen buang air kecil, tapi air kecilnya dalam bentuk besar. Orang-orang bilang mules lahiran itu kayak mau buang air besar, menurut saya sih kayak mau buang air kecil. Serius.

Sekitar jam 13.00, saya sampai di bidan. Saya sempat ngecek bercak darah yang semakin banyak. Lalu saya langsung tiduran di kasur di ruang bersalin dan otomatis mengejan dengan sendirinya.

Bu bidan sampe kewalahan karena belum melakukan persiapan apa-apa. Saya juga diminta untuk gak mengejan dulu karena air ketuban belum pecah.

Meski udah gak kuat, setelah air ketuban dipecah bidan, ternyata saya masih harus beberapa kali mengejan untuk bisa ngeluarin dedek. Mengejan memang gak sakit, tapi saya berasa ragu dan khawatir, entah kenapa.

Ya Allah lancarkan..

Untungnya bu bidan sabar banget, katanya saya harus mengejan kalau memang berasa mau mengejan, dan jangan dipaksa karena takut capek.

Tangan saya diminta untuk pegang pergelangan kaki yang udah dibuka lebar. Kepala ditopang dan pandangan difokuskan ke perut. Bokong dilarang ngangkat karena bisa menyebabkan robek perineum.

Nafas harus panjang, jangan teriak, dan jangan merem. di dalam ruang bersalin saya ditemani Mama dan bibi.

Bidan bilang rambut dedek udah keliatan, jadi saya harus mengejan dengan benar supaya dedek bisa cepat keluar. Setelah kira-kira tujuh kali mengejan, dedek akhirnya keluar pukul 13.45.

Alhamdulillah ya Allah. Dedek yang nangis kejer langsung ditempel ke dada saya untuk inisiasi menyusu dini (IMD).

foto: Raisan Al Farisi

Proses persalinan gak cukup sampai di sini. Saya masih harus dibersihkan isi rahimnya dan dijahit parineumnya. Yaaa, ternyata perineum saya robek alami karena dedeknya cukup besar, beratnya aja 3,5 kg. 

Parahnya, saya dijahit tanpa bius, enam jahitan sekaligus.. Bisa ngebayangin gak sih rasanya ditusuk benang jahit di area luka? Saya sampai gemeteran.

Meski begitu, saya masih bisa tahan ya. Soalnya sakit dijahit ini rasanya masih jauh lebih ringan daripada kontraksi yang bikin saya inget mati.

foto: Raisan Al Farisi
Setelah jahit menjahit selesai, bidan membersihkan semua bekas darah dan bahkan membersihkan seluruh badan saya, menggantikan baju, juga memandikan dedek.

Semua orang di ruang bersalin keliatan senang banget, termasuk saya. Saking senangnya, saya bisa langsung jalan dan nengok dedek yang udah cantik dibalut bedong. Pipinya bulat, mukanya cetakan saya bangett..

Bagian yang paling bikin terharu adalah ketika dedek semangat banget untuk nyusu, padahal hari pertama lahiran biasanya belum ada ASI yang keluar.

Karena suami belum datang, dedek diazani sama kakeknya dulu. Gak lama, suami datang bersama adik yang juga bela-belain izin dari kerjaannya. Sekarang dedek diadzanin bapaknya ya.

Saya masih gak percaya semua ini terjadi. Dari banyaknya pengalaman tak terlupakan selama jadi wartawan, ternyata melahirkan adalah pengalaman paling menakjubkan.

Selamat datang, Sayangnya momi dan popi..<3 span="">

Comments

Popular posts from this blog

Kerajian Tangan Tas Sedotan

Main di Kebun Teh Puncak

"Karma Dalem Boncel"