Rainier Suraiya (3)

Saya dan suami sepakat untuk langsung menyelenggarakan aqiqah Rainier, sepekan setelah kelahirannya, 15 Juli 2018. Acara akikah ini digabung dengan syukuran puput pusar, jadi selain motong seekor kambing, kita juga bikin bubur merah dan bubur putih.

foto: Raisan Al Farisi

foto: Raisan Al Farisi

Daging kambing yang sudah dipotong-potong kemudian dibikin gulai dan dibagikan ke tetangga, barengan sama bubur merah bubur putih. Acara intinya sih cuma dihadiri keluarga besar Bogor aja, tapi alhamdulillah khidmat. Sambil tertidur, Rai pun dipotong rambutnya sedikit-sedikit oleh para kakek dan neneknya.

foto: Raisan Al Farisi

Doa Momi dan Popi untuk Rai, semoga menjadi anak perempuan yang tangguh, menyenangkan, sehat jasmani dan rohani, sukses dunia akherat, dan selamat di mana pun berada. Rai jadi anugerah yang luar biasa yang bahkan udah ngebanggain banget sejak dalam kandungan.

Terima kasih Nenek yang udah masak gulai kambing dan bubur. Terima kasih para kakek yang udah bantu potongin kambing. Dan terima kasih semuanya yang udah kasih Rai kado banyaakk.. yeay.


Esoknya…

Rai dan saya dijadwalkan kontrol ke bidan hari ini. Kata bidan, jahitan di parineum saya sudah membaik. Tapi sebaliknya, justru kondisi Rai yang gak baik.

Kulit Rai kuning dan saya diminta untuk bawa dia ke dokter anak untuk diperiksa lebih lanjut.

Kabar ini bagai petir di siang bolong. Rai yang saya pikir sehat karena nyusunya banyak banget, ternyata dalam keadaan sakit. Kulitnya kelihatan berwarna merah layaknya bayi biasa, walaupun matanya memang kuning.

Vonis ‘ibu gagal’ langsung saya cap ke diri sendiri. Ini pasti mimpi.

Besoknya saya, suami, Bapak, dan Mama langsung bawa Rai untuk periksa ke rumah sakit. Dokter bilang Rai harus tes lab karena benar kulitnya keliatan kuning.

Penyebabnya adalah tingginya kadar bilirubin dalam darah, karena organ hatinya berlum berfungsi dengan sempurna untuk mengurai bilirubin itu.

Jadi kalau tingkat bilirubinnya di atas 12, Rai harus menjalani rawat inap. Dan dari keterangan dokter ini saya semakin yakin kalau Rai bakal benar-benar dirawat.

Walaupun begitu, sebenarnya sakit kuning bisa hilang dengan cara anak diberi ASI terus-menerus dan dijemur di bawah sinar matahari pagi.

Saya gak bisa membendung air mata, bahkan sebelum pemeriksaan lab di mulai. Di laboratorium lantai tiga, Rai langsung diambil darahnya untuk diuji. Dia sempet nangis kencang sebentar, tapi langsung saya peluk dan kasih ASI sampai tidur.

Sejam kemudian, hasil lab keluar. Dan tingkat bilirubin Rai ternyata cukup tinggi, sampai 16,7. Seketika itu saya langsung lemas. Rai harus fototerapi, karena konsumsi ASI dan dijemur aja gak akan cukup.

Sambil tertatih saya bawa Rai ke IGD. Suami dengan sigap ngurus administrasi rawat inap dan nyiapin keperluan pribadi Rai, kayak popok dan tisu basah.

Sebelum Rai dibawa ke ruang rawat inap bayi, saya sempat kasih dia ASI dan peluk dia tanpa dilepas.

Sebelum kenyang nyusu, dia sudah harus dibawa ke ruang inap perinatologi. Di dalam kasur dorong khusus bayi, Rai meronta-ronta sambil nangis. Tapi kemudian dia diam waktu kasurnya ditutup kelambu transparan dan didorong perawat menuju kamar rawat inap.

foto: Raisan Al Farisi
Di antara beberapa patah hati di masa lalu yang pernah saya alami, patah hati ini yang paling parah. Sebagai ibu, saya harus lihat dengan mata kepala sendiri Rai dijauhi dan dipisahkan dari saya. Ini lebih kejam dari apapun.

Saya bisa saja saat itu nangis meledak-ledak, seperti Mama yang hampir pingsan. Tapi saya harus tetap waras supaya produksi ASI tetap bagus.

Selama Rai di rumah sakit, saya harus pompa ASI dan nganterin ASIPnya ke rumah sakit.

Awalnya saya idealis pengen Rai minum ASI eksklusif. Kenyataannya, Rai yang gembul banget harus disokong sama susu formula juga. Sedih rasanya.

Rai juga gak bisa ditunggui setiap saat. Orang tua cuma boleh ketemu bayinya di jam besuk, yaitu pukul 11.00 sampai 13.00 siang dan pukul 17.00 sampai 18.00 sore. Rai harus berjuang sendirian di tempat yang jauh dari momi dan popinya.

Di saat kayak gini kehadiran suami jadi penyemangat nomor satu buat saya. Suami sudah minta izin ke kantornya untuk tinggal lebih lama di Bogor sampai Rai keluar rumah sakit.

Dia selalu setia nemenin saya mompa ASI, bahkan di tengah malam. Untuk menjaga kewarasan, selama mompa saya selalu setel lagu Hotto Doggu yang diaransemen Harry Citradi.

Lagu kocak ini saya lihat di akun Instagram 9GAG. Lalu suami ngunduh versi lengkapnya di YouTube. Niat banget ya.

Selama empat hari berturut-turut, kita berdua datang ke rumah sakit empat kali dalam sehari. Selain datang di jam besuk, kita juga datang setiap pukul 08.00 pagi dan 21.00 malam untuk ngasih ASIP. Saat ngasih ASIP, saya sama sekali gak bisa lihat Rai.

Sebenarnya di hari kedua Rai bisa pulang kalau tingkat bilirubinnya rendah. Sayang banget, hasil lab menunjukkan bilirubin Rai pas-pasan di angka 12. Sedangkan uji lab selanjutnya baru bisa dilakukan dua hari lagi.

Gak pernah sekalipun saya dan suami melewatkan sesi besuk. Di hari pertama, Rai bisa diambil sebentar untuk saya susui langsung. Tapi di hari-hari berikutnya, saya cuma bisa nyusuin Rai pakai botol dot dari luar boks inkubator.

foto: Raisan Al Farisi

Ada beberapa hal yang bikin saya nangis setiap ngejenguk. Mata Rai ditutup pakai kain kassa dengan tujuan agar gak kena sinar saat di fototerapi. Rai harus tidur di boks sendirian, kepanasan, dehidrasi, dan tanpa pakaian.

Pernah suatu hari pas saya jenguk, Rai lagi nangis kejer karena pengen susu. Waktu saya minta susu ke perawat, mereka bilang Rai baru aja nyusu dan kalau dia terus nyusu, dia bakal muntah.

Gilak gak sih, tercabik rasanya jadi ibu yang lihat langsung anaknya nangis kejer pengen susu, tapi kita gak bisa berbuat apa-apa.

Waktu itu saya cuma bisa nenangin Rai dengan ngangkat dan goyang-goyangin badannya sampai dia tidur. Posisinya udah gak karuan karena saya dan Rai terpisah oleh kaca inkubator.

Selain matanya ditutup, rambut Rai yang hitam lebat juga terlihat kusut dan kotor. Kulit-kulitnya masih banyak yang mengelupas. Tapi di samping itu, Rai masih sangat keliatan sehat, berat badannya gak berkurang dan minum susunya banyak. Alhamdulillah.

Setiap salat saya peluk suami dan nangis sambil berdoa berduaan. Hampaa rasanya.

Di hari keempat, saat saya dan suami ngebesuk Rai di rumah sakit, kita minta kepastian ke perawat untuk bisa bawa Rai pulang di hari ini juga. Hari ini jadwalnya Rai tes lab, tapi pengambilan darah baru dilakukan sore karena Rai masuk rumah sakitnya pun sore.

Untungnya, setelah kita tanya soal pemulangan Rai, perawat memperbolehkan Rai untuk diambil darahnya siang ini juga untuk di tes lab. Jadi kita gak perlu nunggu sampai sore. 

Agak deg-degan sih karena takut kadar bilirubin Rai belum mencukupi untuk bisa pulang. Sedih juga kan kalau harus nginep dua hari lagi. Hiks.

Saat proses tes lab, saya menghubungi Mama, Bapak, dan Teteh untuk bawa perlengkapan Rai, dengan harapan Rai bisa dibawa pulang, walaupun belum pasti.

Sejam kemudian perawat ngasih tau kalau kadar bilirubin Rai 10,4, yang artinya udah ada di bawah batas wajar. Tapi perawat masih harus konsultasi dulu sama dokter anak yang menangani Rai. Keputusan Rai untuk pulang masih belum final.

Lalu dokter menyatakan Rai boleh pulang. Hwaaa… Alhamdulillah ya Allah. Sementara Rai didandani untuk bersiap pulang, saya dan Raisan mengurusi administrasi pembayaran.

Meski gak pakai BPJS, Alhamdulillah pembayarannya gak terlalu mahal, bisa diklaim juga ke kantor.

Rai langsung digendong Mama waktu dibawa keluar dari ruang perinatologi. Saya sebagai ibu kandung mesti sabar untuk bisa peluk dan cium Rai, karena ada neneknya yang kangen berat. Hihi.

Selain rambutnya yang kotor, ada ‘oleh-oleh’ lain yang dibawa Rai dari rumah sakit, yaitu ruam parah di bokong. Hmm.. ini tugas saya untuk kembalikan Rai menjadi mulus seperti semula.

Semoga ini untuk pertama dan terakhir kalinya Rai berurusan dengan rumah sakit. Semoga Rai selalu sehat dan bahagia. I love you, sayang.

Comments

Popular posts from this blog

Kerajian Tangan Tas Sedotan

Main di Kebun Teh Puncak

"Karma Dalem Boncel"