Gugus (2)

Buat saya, Jakarta bukan kota yang menarik. Dari mulai aroma, suasana, dan jalan-jalan yang saya lalui, semuanya gak membuat nyaman.

Perjalanan tiga jam dari Bogor ke Jakarta juga bikin saya kebingungan, terutama waktu naik bus Transjakarta buat yang pertama kalinya. “Lo ngapain Fir disini, nyasar?”

foto: Fira Nursyabani

Udara malam Jakarta terasa hangat buat saya yang pakai kaos plus sweater. Untungnya di dalam Transjakarta cukup dingin. Bus ini bagus, jauh berbeda dari damri Bandung, walaupun saya lebih suka naik damri.

Karena masyarakat Jawa mendominasi, saya merasa asing ada di Jakarta. Mulai dari pedagang, sopir, tetangga rusun, semua berbahasa Jawa.

Kehidupan di jalan lebih banyak memperlihatkan potret multikultural di bandingkan sama pusat perbelanjaan megah yang hanya saya lihat sambil lalu dari jendela Transjakarta. Itu pun jendelanya buram terhalang sisa-sisa air hujan.

Waktu Gugus kerja, saya sempat main-main sendirian ke Terminal Pulo Gadung sambil cari makan. Saya menepi di sebuah warteg dan ngebungkus nasi sama dua lauk pauk. Agak kaget karena saya harus bayar Rp8.000. Di Bandung, di sekitaran kosan saya, pasti makanan seporsi ini bisa saya bayar setengahnya.

Maksud hati ingin menenangkan diri dari masalah, eh justru dikasih banyak lihat potret kehidupan yang lebih keras di kota ini. Tapi hiruk pikuk Jakarta bisa sedikit mengalihkan pikiran saya yang mumet.

Lagi pula, ngeliat banyak orang berjuang bikin saya mikir kalau selama ini saya sudah banyak melakukan hal yang sia-sia, termasuk galau akan masalah sekarang.

Dari Gugus juga saya merenung. Dia cerita soal Papanya yang meninggal, juga soal perasaannya dan kehidupannya setelah itu.

Sekarang Gugus harus menghidupi diri sendiri, Mama, dan ketiga adiknya. Sendirian. Di kota yang asing. Jauh dari keluarga.

Saya yang masih punya orang tua lengkap dan kondisi keuangan berkecukupan rasanya malu sama Gugus. Pelarian kali ini benar-benar bikin saya tertampar-tampar.

Jakarta, saya pergi dulu. Bandung, saya datang lagi, saat ini dengan senyuman, tanpa tangis.

Tulisan ini saya dedikasikan untuk sahabat sekaligus kakak saya tercinta, Gugus Panuntun Tibar ❤
“Nikmatilah saja kegundahan ini. Segala denyutnya yang merobek sepi. Kelesuan ini jangan lekas pergi. Aku menyelami sampai lelah hati.” –Efek Rumah Kaca

Comments

Popular posts from this blog

Kerajian Tangan Tas Sedotan

Main di Kebun Teh Puncak

"Karma Dalem Boncel"