Cirebon Historical & Culinary Tour

Goa Sunyaragi
Tim NET. Jalan-Jalan Masa Kini di Goa Sunyaragi. (foto: NET.)
Rasanya udah lamaaa banget gak keluar kota buat liputan. Kali ini saya meluncur bersama teman-teman dari berbagai media dalam acara NET. Jalan-Jalan Masa Kini.

Kota yang didatangi termasuk kota yang antimainstream: Cirebon
 
FYI, duluuuu banget saya pernah tinggal di kota ini sebelum masuk sekolah. Selain ada keturunan darah dari sini, Cirebon juga jadi tempat tinggal kakek nenek di rumah dinas pajak di Jalan Samadikun. Hola! Childhood I’m coming!

Pak Nurmas. (foto: Fira Nursya'bani)
Judul jalan-jalan kali ini adalah historical and culinary tour. Yak, jalan-jalan menyusuri sejarah di Cirebon plus makan makanan khasnya.

Tempat pertama yang dikunjungi adalah Taman Air Goa Sunyaragi di Kelurahan Sunyaragi, Kesambi. Di sini saya bertemu dengan Bapak E. Nurmas Argadikusuma sebagai pemandu. 

Nama Sunyaragi berasal dari kata sunyi dan raga, yang artinya tempat ini digunakan untuk bertapa mensunyikan raga. Biasanya yang bertapa adalah sultan-sultan Cirebon pada zaman dulu.

Di sini ada 10 goa, ada yang berbentuk ruangan kecil atau lorong kecil, yaitu:
  • Goa Pengawal sebagai tempat berkumpul para pengawal sultan
  • Goa Pandekemasang sebagai tempat membuat senjata tajam
  • Goa Simanyang sebagai tempat pos penjagaan
  • Goa Langse sebagai tempat bersantai
  • Goa Peteng sebagai tempat nyepi untuk kekebalan tubuh
  • Goa Arga Jumud sebagai tempat orang penting keraton
  • Goa Padang Ati sebagai tempat bersemedi
  • Goa Kelanggengan sebagai tempat bersemedi agar langgeng jabatan
  • Goa Lawa sebagai tempat khusus kelelawar
  • Goa Pawon sebagai dapur penyimpanan makanan
Goa Peteng. (foto: Ropesta Sitorus)
Yang unik, sebagian besar goa di sini dindingnya dibangun dengan batu karang laut pantai selatan. Konon, batu-batu karang itu dibawa oleh jin, karena zaman dulu belum ada angkutan yang bisa membawa batu karang sebanyak itu.

Batunya diambil dari pantai selatan karena di pantai utara gak ada bebatuan macam itu. Om jin baik.

Oh ya, waktu saya mau masuk Goa Pengawal, tiba-tiba kamera ponsel saya mati. Terus Pak Nurmas bilang, kalau penghuni goa itu gak mau difoto, kamera ponsel bakal mati sendiri. Atulah x((

Tapi yang paling bikin bergairah adalah cerita Pak Nurmas soal batu Perawan Sunti yang gak boleh disentuh sama orang yang belum menikah.

Si Bapak emang gak menjelaskan asal-usulnya, tapi katanya pernah ada seorang gadis yang sengaja datang lagi ke Goa Sunyaragi karena gak dapat-dapat jodoh setelah pegang batu itu.

Pengen buktiin tapi serem juga kalau beneran gak nikah-nikah. Hii.

Setelah ‘pamer’ foto Sunyaragi ke orang-orang rumah, saya baru tahu ternyata waktu balita saya pernah mengunjungi Goa Sunyaragi ini sama keluarga.


Keraton Kasepuhan
Tim NET. Jalan-Jalan Masa Kini di Keraton Kasepuhan Cirebon. (foto: NET.)


Saya dan rombongan pamit ke Pak Nurmas, lalu melanjutkan perjalanan ke Keraton Kasepuhan Cirebon. Di keraton, saya ketemu sama Pak Ayi yang didaulat sebagai pemandu.

Kita diajak keliling kompleks keraton, sampai ke museum benda-benda peninggalannya. Beragam benda sakral ada di sini, tapi yang paling ngeri adalah alat debus dari Banten.

Alat ini berbentuk paku besar berujung tajam dan kata Pak Ayi ini digunakan untuk mengetes sejauh mana prajurit bisa kebal dari benda-benda tajam.
Kereta Singa Barong. (foto: Fira Nursya'bani)
Terus di museum kedua ada kereta Singa Barong asli yang dibuat pada 1549. Katanya kereta ini adalah kereta tradisional yang sistemnya sudah sangat moderen.

Biasanya kereta Singa Barong dikeluarkan setiap malam 1 Suro. Tapi sejak 1942, kereta ini pensiun dan diganti sama kereta imitasinya.

Oh ya, kenapa dinamakan singa barong? Sebab kereta ini gabungan dari beberapa hewan simbol tiga agama dan budaya. Pertama, ada belalai gajah sebagai simbol agama Hindu yang berkembang di India.

Kedua, ada kepala naga sebagai simbol agama Buddha yang berkembang di Cina. Ketiga, ada badan burung Buroq sebagai simbol Islam yang berkembang di Timur Tengah.

Ini juga nyambung sama kata Cirebon yang berasal dari kata Caruban, yaitu campuran. Cirebon memang menjunjung yang namanya perbedaan dan multi etnis.

Setelah asik tur keliling keraton, kami secara khusus diundang masuk ke dalam keraton oleh Sultan Sepuh XIV PRA Arief Natadiningrat. Setelah disambut oleh penari topeng, Sultan memberikan sambutan sambil menjelaskan tentang keadaan Cirebon saat ini.

Cirebon mengukuhkan diri sebagai kota wisata ziarah. Ada tiga tempat yang paling banyak dikunjungi, yaitu makam Sunan Gunung Jati, Masjid Sunan Gunung Jati, dan rumah Sunan Gunung Jati.

Selain itu, Cirebon punya 30-an bangunan masjid, gereja, bahkan klenteng kuno yang usianya mencapai ratusan tahun. Meski demikian, sang Sultan menyadari Cirebon masih tertinggal 30 tahun dari Yogyakarta dalam hal pariwisata. 

Oleh karena itu, adanya kemudahan akses melalui jalur kereta dari utara dan selatan, serta dibukanya jalan tol Cipali, menjadi kesempatan emas bagi Cirebon untuk mengembangkan potensi wisatanya. Horee..
Tim NET. Jalan-Jalan Masa Kini bersama Sultan Sepuh XIV PRA Arief Natadiningrat. (foto: NET.)
Sultan juga berbaik hati ngasih jamuan makan. Makanan yang disuguhkan adalah makanan-makanan khas Cirebon, di antaranya tahu gejrot, es cuing, empal gentong, dan nasi jamblang.

Oh iya, sebelum berangkat, saya ingat pesan teteh: "Jangan lupa di Cirebon beli tahu gejrot di abang-abang pinggir jalan." Daan hasilnya, tadaaa... saya beli tahu gejrot di depan keraton dan rasanya endeush. Gak pernah saya nemu tahu gejrot seenak ini di Jakarta T.T
foto: Fira Nursya'bani

Gedung Perundingan Linggarjati
Tim NET. Jalan-Jalan Masa Kini di dalam Gedung Perundingan Linggarjati. (foto: NET.)
Dari Keraton, kita main agak jauh ke Kuningan, tepatnya ke Linggarjati. Di sini ada gedung yang dijadikan warisan cagar budaya, namanya Gedung Perundingan Linggarjati.
Perundingan yang diprakarsai Sutan Syahrir di Linggarjati pada 1946 ini 'memaksa' Belanda untuk mengakui kemerdekaan Indonesia.

foto: Fira Nursya'bani
Ternyata gedung ini dulunya pernah jadi gudang, bahkan hotel. Pertama adalah Hotel Hokay Ryokan, waktu zaman penjajahan Belanda, lalu jadi Hotel Merdeka setelah 1945. 

Setelah dipakai untuk perundingan, gedung ini sempat jadi gedung SDN Linggarjati selama 25 tahun. Baru di tahun 1975, gedung ini diserahkan ke Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk dijadikan museum. 

Gedung ini sebenarnya gak terlalu besar untuk jadi hotel, kamarnya pun gak terlalu banyak. Tapi untuk jadi rumah, bagus banget, apalagi model rumahnya jadul dan halaman belakangnya luas.

Karena tata letak benda di setiap ruangan disamakan dengan masa perundingan dulu, agak serem sih liat beberapa kamar diisi kasur-kasur berseprai putih dan lemari-lemari dengan cermin besar.

Alun-Alun Kejaksaan
Sebenernya, gak asik ke luar kota tanpa jalan-jalan sendiri. Berhubung saya punya tour guide pribadi di Cirebon, bernama Luciyana 'Bunda" Dwiningrum, saya nodong doi buat jalan-jalan asik pagi-pagi di kota udang ini.

Waktunya emang gak lama, soalnya jam 9 saya harus udah cuss dari sini. Huhu sedih. 

foto: Fira Nursya'bani
Sang guide ngajakin saya sarapan nasi jamblang di pinggir jalan. Di sini saya ketemu seorang bapak yang tahu-tahuan kalau saya ini 'turis' yang nyari kuliner di Cirebon.

Katanya saya mesti nyari nasi bogana di deket keraton dan itu enak banget. Ah bapak, telat banget, saya kan kemarin dari keraton. Mungkin si bapak mau saya balik lagi kali yaa..

Btw, nasi jamblang adalah nasi yang dibungkus daun jati dan disajikan dengan beragam lauk. Lauknya ada empal, telor, tahu, tempe, perkedel, paru dan masih banyak lagi, kita tinggal pilih.

Setelah kenyang, kita berdua main ke alun-alun kejaksaan dan curhat panjang kali lebar kali tinggi, sambil foto-foto sedikiiit di depan masjid At-Takwa. Sayang sekali waktu memisahkan kita, see ya my personal tour guide ~

Batik Trusmi
foto: Fira Nursya'bani
Batik apa yang bisa dipercayaaa? Batik Trust Meee ~~~
Di hari terakhir di Cirebon, kami mengunjungi batik Trusmi. Sesampainya di sana, kami langsung diajari membatik. Ternyata gak semudah yang dibayangkan. Yang saya rasakan waktu belajar membatik adalah: lilinnya tumpah-tumpahan ke kain.

foto: Fira Nursya'bani
Tapi seru juga karena kita bisa berkreasi di sini. Sayang, belum selesai ngebatik, kita udah ngerumunin ibu Sally Giovanny, pemilik Batik Trusmi, buat wawancara (namanya juga wartawan). Hah, gak salah? Bu Sally ini masih muda banget, cuma beda usia 2 tahun dari saya. Tapi usahanya udah luar biasa, punya cabang di lima kota. Ih kok bisa?

Katanya lulus SMA dia memutuskan buat nikah dan uang hasil nikahnya itu dijadiin modal usaha batik. Gak langsung besar memang, dia bahkan sempet bangkrut. Tapi akhirnya usaha yang dirintis dari 2006 itu terus berkembang karena keuletan Bu Sally sendiri. Sekarang dia udah punya ratusan karyawan, pengrajin batik biasanya berasal dari Cirebon sendiri, sisanya dari berbagai kota. Keren.

Empal Gentong Hj. Dian

Foto terakhir Tim NET. Jalan-Jalan Masa Kini di Empal Gentong Cirebon
dok foto: NET.
Belum lengkap rasanya kalau ke Cirebon gak nyobain kuliner yang satu ini: Empal Gentong. Di sebut empal gentong karena kuahnya di masak di dalam gentong. Dan kenapa harus Hj. Dian, hm mungkin ini yang paling terkenal yaaa.

Empal Gentong
foto: Fira Nursya'bani
Rasanya, enak. Asli. Kayak semacam soto daging gitu. Katanya sih tadinya empal gentong itu isinya jeroan sapi, tapi mengingat jeroan itu gak baik, jadinya diganti deh sama daging. Hm, saya sih tetep lebih suka soto jeroan. Nyam.

Di sini juga jual nasi lengko. Nasi yang diatasnya dikasih semacam pecel dengan bumbu kacang. Et, jangan takut gak kebagian tempat duduk, karena kedai empal gentong di Cirebon banyaaaakkk banget.


Kadang jalan-jalan di kota antimainstream itu enak karena kita bisa tahu tempat-tempat yang baru dan unik. Yuk datang ke Cirebon :)

See yaaa, gengs ~
dok foto: NET.

Comments

Popular posts from this blog

Kerajian Tangan Tas Sedotan

Main di Kebun Teh Puncak

"Karma Dalem Boncel"