Pesona Palu dan Donggala

Khayangan kali ini menugaskan saya ikut Lembaga Sensor Film (LSF) untuk melakukan sosialisasi sensor film ke Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah.

Di Bandara Soekarno-Hatta, saya ketemu dengan mbak Ecka dari Kartini Online dan bang Nikolaus dari suaradotcom.

Eh ternyata wartawan yang diundang ke Donggala cuma kita bertiga. Katanya bagi-bagi, karena sosialisasi dilakukan juga di daerah-daerah lain di Indonesia.

Dari LSF ada pak Imam Suharjo dan pak Sudama Dipawikarta komisioner Komisi I LSF Bidang Penyensoran dan Dialog, juga pak Rommy Fibri Hardianto komisioner Komisi II LSF Bidang Hukum dan Advokasi, serta beberapa staf LSF. Dan yang paling penting, semuanya ramah.

Hari 1

Dari Bandara Soekarno-Hatta kita harus menempuh perjalanan selama dua jam ke Bandara Sultan Hasanuddin Makassar untuk transit. Dari sini, kita menempuh perjalanan satu jam lagi ke Bandara Mutiara Sis Al-Jufri Palu.

Jam 3 sore, sampailah kita dari perjalanan udara yang cukup melelahkan. Di sini kita langsung cari makan dan minum yang seger-seger karena ternyata Kota Palu panas juga, mentang-mentang di pinggir pantai nih.
Full team di Pantai Talise, Teluk Palu. (foto: LSF)
Sampailah kita di Rumah Makan Heni Putri Kaili. Di sini selain menyediakan makanan laut khas Palu, letaknya juga strategis, tepat di tengah Teluk Palu. Hwaaa.... Pantai di teluk ini namanya Pantai Talise.

Kalau boleh digambarkan, pantainya berpasir agak hitam dan gak luas. Ombaknya sedikit, bahkan gak ada. Mungkin karena letaknya yang menjorok ke daratan (teluk), angin jadi sedikit yang mampir.

Sepertinya airnya agak dalam karena saya gak banyak lihat orang yang berenang dan main air di pinggir laut, malah ada beberapa kapal nelayan di sana.

Meski gak se-eksotis pantai-pantai lain yang pernah saya kunjungi, Talise tetap membekas di hati karena lokasinya.

Setelah kenyang dan puas foto-foto, rombongan menuju Silae untuk check-in di Swiss-belhotel Silae. Hotel ini terlihat agak mentereng karena di sisi kiri kanannya gak banyak hotel-hotel yang sama besar.

Uniknya, jendela kamar tidur saya di hotel ini tepat menghadap panorama bukit, pantai, dan laut. Ah romantis banget.

Parahnya lagi, saya nginep di kamar ini sendirian. Menikmati indahnya pemandangan di luar jendela sendirian? Mana enak. Eh tapi enak deh.

Kita semua istirahat sampai Isya. Setelah itu, rombongan rencananya mau menikmati udara malam di pinggir pantai sambil bercengkrama dan menikmati penganan khas Palu. 

Sepanjang garis pantai Palu penuh dengan penjual-penjual makanan yang menyediakan deretan bangku dan meja kecil untuk pengunjung, yang didesain menghadap ke pantai. Keren dan romantis.
Pisang geppe sambal terasi
(foto: Fira Nursyabani)
Kita pesan sarabba susu/jahe dan pisang geppe sambal terasi. Sarabba itu semacam bandrek kalau di Jawa, rasanya anget dan enak. ASLI ENAK, GAK BOONG.

Tapi agak aneh sih minum minuman anget padahal udara di pinggir pantai waktu itu agak panas hihi.

Kalau pisang geppe adalah pisang goreng biasa yang dicocol pake sambel terasi. Untuk yang belum pernah ke Sulawesi pasti agak aneh ya makanan manis disatuin sama makanan pedas asin.

Eh setelah dicoba ternyata enak. ASLI ENAK BANGET. Rasanya pengen dibungkus dan dibawa pulang.

Malam itu berlalu dengan cepat. Jam 11 malam kita harus balik ke hotel karena besok pagi kita akan pergi ke Donggala untuk acara sosialisasi. Hm.

Tidur kali ini nyenyak, soalnya di luar sama sekali gak kedengeran suara ombak. Ombaknya juga gak ada.


Hari 2

Ini mbak Ecka. (foto: Nikolaus)
Jam 8 pagi kita sudah mulai perjalanan dari Palu ke Donggala. Dengan melewati jalur Trans Palu-Donggala, waktu yang ditempuh kira-kira satu jam. Kita cukup menyusuri bibir pantai ke ujung Teluk Palu.

Pemandangan sepanjang jalan agak unik. Di sisi kanan kita lihat pantai dan di sisi kiri kita lihat bukit-bukit. Belum lagi jalannya belok-belok. Seru.

Jam 9 sampailah kita di gedung Pemerintah Kabupaten Donggala dan disambut dengan PNS-PNS yang sedang melakukan apel dengan seragam putih hitam. Acara sosialisasi berlangsung lancar.

Kami, tiga wartawan ini banyak ketemu narsum mulai dari pejabat sampai budayawan. Kenyang pokoknya. Sayang, Bupati Donggala, waktu itu berhalangan hadir (silaken googling sendiri nama bupatinya ^^).

Eh tapi jangan salah, meski berhalangan hadir, kita dikasih kesempatan buat bertemu sang bupati. Waktu itu pas kita mau pulang dan lagi nunggu mobil, rombongan mobil bupati datang. Kira-kira ada tiga atau empat mobil di depan gedung. 

15 menit kemudian, pak bupati keluar dari mobil (entah kenapa bisa memakan waktu lama buat beliau untuk keluar). Sontak kita langsung minta foto bareng.

Tapiii.... seorang anak buah beliau tiba-tiba membungkuk dan membersihkan sepatu beliau yang gak kotor-kotor amat. Adegan yang tak tertangkap kamera tapi tertangkap mata itu membuat kita (saya terutama) ingin segera menghentikan prosesi minta foto. Duh, pejabat.
Bersama Bupati Donggala. (foto: LSF)
Karena acara inti sudah selesai, kita bisa berleha-leha sejenak. Mumpung sedang ada di Donggala, gak ada salahnya kita mampir ke lokasi wisatanya yang paling terkenal, Pantai Tanjung Karang.

Dari kantor Pemkab, perjalanan ke Tanjung Karang cuma memakan sekitar 20 menit. Akses jalan bagus dan bisa masuk mobil (mengingat sulitnya saya masuk Cimaja dan Legon Pari).

Subhanallah. Seharian kemarin di Palu mungkin saya disuguhi pemandangan pantai yang biasa, tapi kali ini di Donggala pantai yang airnya super bening dan pasirnya super putih ada di hadapan saya.

Karena ini hari biasa, rombongan masuk ke pantai ini tanpa dimintai dana retribusi. Katanya kalau akhir pekan, pengunjung akan dikenakan tiket, Rp 2.000 aja per orang.
Pantai Tanjung Karang. (foto: Fira Nursya'bani)
Pantai ini katanya cocok dipakai menyelam (dan belajar menyelam), mengingat ombaknya yang kecil dan lautnya yang cukup dalam. Beberapa pengunjung bule juga saya lihat sedang menggunakan alat selam di pinggir laut.

Enaknya, di sini meski banyak warung dan ada resort, tapi bebas dari sampah. Sekali lagi, romantis abis.

Mengingat saya gak bawa baju ganti dan semua orang pun tampaknya senasib, kami memutuskan untuk menyewa perahu untuk jalan-jalan asik di sekitar pantai.

Perahu disewa Rp100 ribu aja sekali jalan untuk kapasitas 12 orang. Murah banget.
foto: Fira Nursya'bani
Melihat pesona bawah laut Tanjung Karang
(foto: Fira Nursya'bani)
Perahu ini didesain unik dengan lapisan kaca di tengahnya. Kita bisa ngeliat keindahan bawah laut Donggala tanpa perlu menyelam, cukup dari lapisan kaca ini.

Belum lagi air yang bening yang bikin kita betah lama-lama lihat ikan-ikan dan terumbu karang di bawah.

Oh ya dalam jarak lima meter dari bibir pantai ini, kedalaman air sudah sampai 7-10 meter loh. Karena saya duduk di ujung kapal dengan kaki menjuntai ke air laut, saya agak ngerasa ngeri ngeliat air laut yang bening dan dalam banget.

Kayaknya kalau saya jatuh, saya bakal lupa gimana caranya berenang. Huhu.

Sayang kita gak bisa menikmati matahari terbenam di sini. Kita harus kembali ke Palu dan segera istirahat. Sampai jumpa Tanjung Karang, senangnya bisa mengenal dirimu yang sangat cantik *peluk*
Naik perahu di Tanjung Karang. (foto: LSF)
Supaya gak keluar hotel lagi dan bisa cepet istirahat, kita memutuskan untuk langsung makan malam. Terpilihlah Rumah Makan Kaledo Stereo yang menyediakan makanan khas Sulawesi Tengah: KALEDO.

Ada yang bilang Kaledo ini singkatan dari Kaki Lembu Donggala. Aslinya makanan ini emang dari kaki lembu yang disajikan plus tulang dan sumsum.

Kami semua pesan masing-masing satu porsi (semoga populasi lembu gak cepat berkurang ya).
Kaledo, Kaki Lembu Donggala
(foto: Fira Nursyabani)
Kaledo sungguh berlemak dan terlihat 'berbahaya'. Disajikan dengan sup kuah bening nan gurih, dagingnya dijamin empuk se-empuk-empuknya. Kita juga bisa menyeruput sumsum langsung dari tulang, dengan menggunakan sedotan.

Ah pokoknya gila banget deh. Entah gimana kabar kolesterol saya nanti.

Harganya pasti sesuai dengan rasanya dong. Kaledo tulang dibanderol dengan harga Rp50 ribu per porsi dan kaledo tanpa tulang (untuk yang gak doyan nyedot sumsum) dibanderol dengan harga Rp35 ribu per porsi.

Ah, selamat malam Palu dan Donggala dengan segala nikmat Yang Maha Kuasa.


Hari 3

Pak Imam dan kawan-kawan memutuskan untuk pulang pagi ke Jakarta. Sedangkan saya, mbak Ecka, bang Niko, dan dua staf LSF (yang masih muda) memilih untuk pulang sore. Kalau bisa berlama-lama di Palu, kenapa nggak.

Jam 12 siang, selesai check out dari hotel, kita sudah bernafsu untuk memburu oleh-oleh. Katanya, abang sopir yang kita sewa tahu tempat yang miring untuk beli kain tenun Donggala.

Percakapan tentang kain tenun Donggala yang luar biasa mahal sudah terjadi sejak kemarin. Katanya, kain ini dijual paling murah seharga Rp400 ribu per potongnya. Alamak, habis uang jajan kita.

Lalu kita dibawa ke sebuah toko yang khusus menjual tenun Donggala (lupa nama dan lokasinya, hapunten). Tokonya biasa, tapi harganya lumayan miring.

Kain-kain di sini langsung diambil dari penenun, tanpa tangan kedua. Saya bisa beliin satu kain bermotif Bomba Sade (bunga khas Donggala) untuk Mama dengan harga Rp250 ribu aja. Yeay.
Cokelat rasa cabai. (foto: Fira Nursyabani) 
Setelah dari sini, kita dibawa ke toko Banua Cokelat. Toko ini menjual cokelat olahan sendiri dengan banyak varian rasa, vanila, mangga, green tea dll.

Yang membuat toko ini spesial adalah cokelat rasa cabe. Cokelat cabe adalah inovasi pribadi yang bisa dibilang sukses.

Waktu nyobain tester, yang saya rasain dimulut pertama kali adalah rasa cokelat biasa. Tapi lama-lama rasa pedas menyerang, walaupun gak semenyengat wasabi.

Unik banget dan cocok buat pecinta pedas. Meski, yaa harganya lumayan juga. Satu ons dengan isi 12 potong dihargai Rp25 ribu.

Sore pun tiba, kami mesti pulang ke Jakarta. Sedih banget. Semoga kalau ada kesempatan main lagi ke sini, Palu sudah jadi kota yang keren. Toh wakil wali kotanya juga keren kan? Hehe. See yaa...

Comments

Popular posts from this blog

Kerajian Tangan Tas Sedotan

Main di Kebun Teh Puncak

"Karma Dalem Boncel"