Reia Emica (2)

Qadarullah, anak kedua saya benar-benar lahir tepat di tanggal lahir Rainier, 9 Juli. Ini jadi hal yang langka dan sangat spesial untuk saya dan suami, juga untuk keluarga besar.

Tanggal 7 Juli, suami sudah memesan tumpeng untuk syukuran ulang tahun Rai. Rencananya kami mau mengadakan pengajian keluarga di rumah, tapi gak akan undang tetangga karena masih dalam kondisi pandemi. Setelah itu tumpengnya akan kami bagikan.

foto: Raisan Al Farisi

Namun kenyataan berkata lain. Bukan peluk dan cium yang diterima Rai saat dia membuka mata pada 9 Juli, melainkan pemandangan nanar dari ibunya yang sedang kesakitan.

Semua rencana berubah. Tumpeng dibiarkan dingin di rumah sampai saya pulang bersalin.

Mungkin kisah ini terdengar pilu, tapi nyatanya Rai justru mendapatkan kado terbaik, seorang adik.

Berkaca pada kedekatan saya dan teteh, saya juga ingin Rai dan adiknya memiliki hubungan yang sama harmonisnya. Kami memberinya seorang sahabat.

foto: Raisan Al Farisi

Saya gak pernah menyangka akan punya 2 anak perempuan di usia yang bahkan belum menginjak 30 tahun. Mereka anugerah terbesar dan pembuka pintu surga bagi saya dan suami, insyaAllah.

Anak kedua kami ini diberi nama 'Reia Emica'. Saya dan suami harus memutar otak untuk menemukan nama yang singkat tetapi penuh makna karena bagaimanapun nama adalah doa.

'Reia' bermakna dewi/ratu dan 'Emica' diambil dari bahasa Jepang yang artinya mempesona. Doa kami, Mica bisa menjadi seorang perempuan yang tangguh, berpendirian, bijaksana, dan berpikiran terbuka layaknya ratu, juga perempuan yang selalu memancarkan pesonanya. Aamiin ya Allah.

foto: Fira Nursyabani
Orang yang paling berjasa bagi saya dari awal kehamilan hingga melahirkan tentu suami, Raisan. Hampir semua keinginan saya selalu dipenuhi, kecuali Spr*te (entah kenapa saya pengen banget minum minuman bersoda ini waktu lagi hamil).

Dari trimester awal, suami gak pernah lupa membekali susu untuk saya minum di kantor. Sampai trimester akhir, suami setiap malam selalu setia memijit kaki saya yang pegal parah.

Saya tahu, kehamilan saya memang bukan hal yang mudah dihadapi oleh suami. Meski sudah punya Rai, tetap ini pengalaman pertamanya.

Untuk pertama kalinya suami kena serangan panik karena saya sering muntah. Untuk pertama kalinya juga suami menyaksikan langsung proses persalinan yang mungkin akan terus terekam dibenaknya.

foto: Raisan Al Farisi
Saya juga amat sangat bersyukur memiliki Rainier. Rai jadi obat yang ampuh saat suasana hati saya sedang naik turun.

Yang bikin saya takjub adalah, Rai sangat menerima kehadiran Mica. Dia gak segan untuk menggoda dan mencium adiknya. Rai bahkan cukup posesif, gak boleh ada orang lain yang gendong adiknya, terlebih jika bilang "dedenya dibawa pulang yaa.." Gemas!

Kalau ada orang yang menganggap Rai cemburu ke adiknya, saya dengan lantang bilang "No!" Anak usia 2 tahun pun bisa mengerti rasa kasih sayang ke saudara sendiri, kiranya orang-orang dewasa punya perasaan yang sama.

Saya menghaturkan banyak terima kasih untuk bu bidan Dewi dan bidan-bidan lain di kliniknya yang sudah menangani saya sejak awal kehamilan sampai persalinan. Juga bapak dokter Teuku yang selalu memberikan saya kata-kata positif saat USG.

foto: Raisan Al Farisi

Saya lagi-lagi memberikan sugesti ke diri sendiri untuk bisa lahiran secara normal di bidan. Dan semuanya kembali terkabul, alhamdulillah.

Saya hanya remahan rangginang tanpa orang tua. Kehamilan kali ini cukup berat karena dilewati tanpa orang tua, terutama Mama. Ditambah, saya gak bisa pulang kampung karena corona.

Di hari saya melahirkan Mica, Mama dan Bapak memutuskan untuk pergi ke Bandung. Kehadiran keduanya bagai angin segar. Tentunya dukungan moril dari orang tua jadi salah satu yang sangat saya butuhkan.

foto: Fira Nursya'bani
Selama di rumah, Mama setiap hari masak sayur supaya ASI saya keluar banyak. Mama juga beli banyak stok makanan karena tahu saya akan sulit keluar rumah.

Gak cuma makanan, Mama sampai beli panci (karena panci di rumah ada yang bocor), toples (karena di rumah gak ada toples buat simpan makanan kiloan), bahkan sampai beliin papan tulis buat Rai.

Sementara Bapak setia nemenin Rai main. Meski sudah berbulan-bulan gak ketemu, Rai masih tetap apet banget sama engkongnya.

Sayang, Mama sama Bapak harus pulang setelah 4 hari tinggal. Rasanya ada yang mencelos di hati. Kehidupan baru dimulai saat mereka pulang karena saya harus ngelakuin semuanya sendiri di rumah. Sedih banget.

Selagi jahitan masih belum kering, masih ada 3 orang yang menggantungkan hidupnya ke saya, dan saya harus bangkit. Gak ada lagi leyeh leyeh kayak 2 tahun lalu.

Untungnya saya masih sering dikunjungi oleh Mama dan Papa Bandung, mertua saya. Keadaan memang berubah, tapi saya gak pernah berhenti bersyukur.

Comments

Popular posts from this blog

Kerajian Tangan Tas Sedotan

Main di Kebun Teh Puncak

"Karma Dalem Boncel"