Reia Emica (1)

foto: Raisan Al Farisi

Semua seperti mimpi. Berlangsung begitu cepat, tapi terekam dan terasa begitu jelas.

Tanggal 8 Juli, kehamilan saya sudah memasuki usia 38 minggu. Menurut jadwal, hari ini saya harus kontrol ke dokter kandungan untuk melihat kondisi dedek.

Sebelum berangkat, saya dikagetkan dengan keluarnya bercak darah. Situasi ini mengingatkan saya ke momen 2 tahun lalu di tanggal yang sama sewaktu hamil Rainier.

Jangan-jangan anak kedua saya ini bakal lahir tepat di tanggal lahir Rai. Perut saya pun sudah mulai terasa kencang, mirip kontraksi palsu.

Menurut dokter, posisi dedek masih belum memasuki panggul, karena wajahnya masih bisa terlihat saat USG. Persalinan kemungkinan masih lama dan saya diminta untuk banyak jalan kaki.

Tapi nyatanya, belum sempat jalan kaki, kontraksi sudah mulai terasa sekitar pukul 8 malam. Saya langsung periksa isi koper untuk mengecek apa saja yang belum disiapkan untuk persalinan.

Suami juga langsung fotokopi semua dokumen yang dibutuhkan. Setelah semua siap, koper langsung disimpan di dalam mobil.

Malam itu saya masih menyusui Rai sampai dia tertidur. Proses menyusui itu membuat kontraksi saya semakin hebat.

Lagi-lagi saya merasa de javu. Dua tahun lalu saya merasakan kontraksi sampai tak tidur semalaman. Dan malam ini pun saya merasakan hal yang sama.

Bedanya, kali ini ada suami di sisi saya. Kami berdua menghabiskan malam di sofa sambil berpegangan tangan. Setiap merasakan kontraksi, saya genggam tangannya erat-erat sambil menangis sesegukan. Saya juga diingatkan mama untuk terus membaca doa dan berzikir.

Suami terus memegang ponsel untuk melihat jam, karena jika kontraksi sudah terasa 5 menit sekali, saya sudah harus pergi ke bidan.

Meski begitu, karena gak tega melihat saya kesakitan, suami terus mengajak saya ke bidan. Saya menolak karena kontraksi belum teratur dan enggan membangunkan Rai.

Untuk sedikit meredakan sakit, setiap kontraksi datang, saya mencoba bernapas secara teratur. Tarik napas dalam-dalam dan keluarkan lewat mulut. Teknik ini terbukti ampuh sedikit melupakan sakit selama kontraksi.

Sekitar pukul setengah 4 subuh, Rai bangun. Dia langsung keluar dan memeluk sambil bersandar di perut dan dada saya.

Setelah itu, kontraksi saya semakin kuat. Suami panik karena kontraksi sudah terjadi 5 menit sekali. Dia mulai menghubungi ibu pengasuh Rai dan mempersiapkan keperluan Rai seperti alat mandi dan baju ganti. Saya juga diminta untuk segera ganti baju.

Karena suasana begitu gak karuan, Rai akhirnya mulai menangis. Dia ingin digendong saya, tapi saya benar-benar gak sanggup. Untuk senyum pun saya sulit karena kontraksinya semakin dahsyat.

Pukul 5 kurang, kami meluncur menuju bidan. Kebetulan lokasi bidannya cukup dekat, hanya 2 menit perjalanan dari rumah.

Ibu pengasuh Rai sudah menunggu di pinggir jalan. Setelah itu Rai diambil alih ibu. Saya kecup pipinya. "Doain momi, ya sayang..."

Rapid test Covid-19 (foto: Raisan Al Farisi)
Sesampainya di bidan, saya langsung dicek tekanan darah dan dibawa ke ruang bersalin. Saat cek pembukaan, bidan bilang pembukaannya sudah lengkap. Sambil menunggu mulas, saya terlebih dahulu di rapid test Covid-19.

Darah saya diambil sedikit di jari manis sebelah kanan. Tapi kata bidan rapid test ini gagal karena hasilnya kurang jelas.

Lalu saya kembali diambil darahnya di jari manis sebelah kiri. Alhamdulillah, hasilnya non-reaktif. Meski begitu, 3 bidan yang menangani saya tetap berpakaian APD lengkap dengan masker dan face shield.

Suami masih setia di samping saya, gak melepas pegangan tangan sambil menangkap momen dengan kamera di tangannya yang lain. Dia berulang kali menawari saya makan, tapi tentu gak ada yang nafsu makan saat sedang menahan sakit luar biasa.

foto: Raisan Al Farisi

Setelah air ketuban mulai dipecahkan, saya hanya mengejan 3 kali, dan VOILA.. dedek pun keluar dari rahim saya tepat pukul 06.23 WIB. Alhamdulillah ya Allah. Suami yang menangis, tak henti-hentinya mencium kening saya.

Proses persalinan ini saya akui memang lebih cepat daripada persalinan Rai dulu. dan juga, sebelum melahirkan, selain sakit, saya juga merasakan ngantuk berat.

Dedek kemudian ditempelkan ke dada saya untuk inisiasi menyusui dini selama satu jam dan diazani oleh bapaknya. Wajahnya sekilas mirip Rai, tapi kali ini ada campuran wajah Popi Raisan. Kulitnya bersih meski masih berwarna kebiruan.

Saya pikir di persalinan kedua ini saya gak akan mendapatkan bedah episiotomi atau jahitan di parineum karena saya sudah pernah melahirkan sebelumnya. Tapi ternyata bidan bilang saya harus mendapatkan 3 jahitan karena (lagi-lagi) dedeknya besar, yakni 3,4 kg dan 51 cm.

Syukur proses jahit menjahit ini gak sesakit persalinan pertama, hanya berasa ngilu. Saya memang sempat dapat suntikan di paha kanan dan kiri, mungkin salah satunya untuk pereda sakit.

foto: Raisan Al Farisi

Gak lama, Rai masuk ke ruangan bersalin. Dia sudah mandi dan makan di rumah ibu asuhnya. Wajahnya terlihat bingung karena ada 'seseorang' yang sedang memeluk mominya.

Tapi lama kelamaan kebingungannya mulai mencair. Dia sudah menyebut 'seseorang' itu sebagai 'dedek'. Rai bahkan terlihat gembira dan tertawa-tawa di ruangan itu.

Setelah satu jam, dedek dipakaikan baju dan diimunisasi. Saya sudah diperbolehkan pindah ke ruangan recovery.

Rai terus menerus mengintip adiknya yang disimpan di boks bayi. Dedek baru akan dimandikan setelah 6 jam. Dan setelah itu saya sudah diperbolehkan pulang.

foto: Raisan Al Farisi

Alhamdulillah. Melahirkan Rai 2 tahun lalu memang menyisakan trauma, tapi saya gak menyangka akan sangat dimudahkan seperti ini di persalinan kedua oleh Allah.

Dedek lahir pagi, siangnya saya sudah bisa pulang ke rumah. Like a boss, saya dan suami datang ke bidan berdua dan pulang pun berdua (eh bertiga deng).

Saya ingin cerita sedikit tentang biaya persalinan di bidan. Persalinan normal di bidan ternyata gak ditutupi oleh BPJS.

Entah sejak kapan. Yang jelas sewaktu melahirkan Rai di bidan di Bogor pada 2018 lalu, biaya persalinannya masih ditutup 100% oleh BPJS.

Untuk persalinan ini saya harus membayar Rp1.500.000 karena saya memilih kamar kelas II. Sedangkan kamar kelas I dibanderol dengan harga Rp1.750.000.

Saya juga harus membayar biaya tambahan untuk rapid test Covid-19. Di bidan, pasien yang rapid test diharuskan membayar Rp250.000.

Comments

Popular posts from this blog

Kerajian Tangan Tas Sedotan

Main di Kebun Teh Puncak

"Karma Dalem Boncel"