2 Tahun Rainier, Belajar tak Jadi Toxic Parents

foto: Raisan Al Farisi

Meski menikah di usia yang matang, saya sadar masih harus banyak belajar mengenai ilmu parenting.

Saya dibesarkan bersama toxic parenting yang cukup parah. Komunikasi yang payah. Perlakuan yang buruk. Semuanya membuat saya bertekad untuk memutus mata rantai racun itu.

Sejak masuk dunia pernikahan, saya dan suami sudah berkomitmen agar anak-anak saya tidak mengalami hal serupa. Toxic parenting memang mungkin hanya terjadi saat kita masih kecil, tetapi efeknya terbawa hingga dewasa.


Usia Rainier sudah menginjak angka 2 di tahun ini. Perkembangannya sangat pesat dan membuat saya takjub.

Rai di usia 1 tahun cukup cuek. Dia hanya mengucapkan kata-kata yang menurutnya menarik dan enggan menirukan apa yang diucapkan orang lain.

Terbesit di pikiran saya rasa khawatir, terlebih teman-teman sebayanya di komplek sudah banyak yang mulai mahir berbicara. Tapi rasa-rasanya akan sangat gak adil kalau saya membanding-bandingkan kemampuan anak.

Di media sosial, teman-teman saya yang sudah memiliki anak juga seolah berlomba memamerkan anak mereka. Anak si anu bisa ini, anak si ini bisa itu, yang tentunya bisa menimbulkan rasa insecure bagi ibu-ibu lain. Dan saya memutuskan untuk membatasi sharing dan watching.

Sebagai seorang ibu, saya tentunya juga memastikan perkembangan Rai berjalan sesuai usia. Misalnya, menginjak usia 2 tahun, anak sudah bisa menyebutkan setidaknya 50 kata bermakna dan mulai menggabungkan 2 kata.

Saya buat daftar kata-kata apa saja yang sudah bisa diucapkan Rai dan kata-kata apa saja yang sudah bisa ia gabungkan. Semuanya tentu dibarengi dengan stimulasi sewajarnya.

Ternyata Rai cepat menghapal. Waktu saya belikan buku yang berisi gambar benda sehari-hari, Rai bisa mengingat setiap benda dengan baik, meski masih sulit mengucapkan nama benda tersebut.

Perubahan signifikan terjadi saat usianya 23 bulan. Rai mulai menghapal warna-warna lewat pensil warna yang saya belikan. Hapalan warna itu lalu diaplikasikan ke benda-benda lain di sekitarnya.


Kami tak memarahi saat Rai mulai mencorat-coret tembok. Saya dan suami membiarkan Rai menggambar di tembok ruang tamu.

Dengan syarat, ia hanya boleh menggambar di tembok itu, bukan di tembok lain (walaupun tembok lain kecolongan kena coretan juga), dan ia hanya boleh mencoret tembok dengan pensil warna bukan spidol.

Dan masya Allah, Rai mengerti dan mau mematuhi. Otaknya menyerap sangat baik bagai spons baru.

Rai juga terus diberikan asupan buku oleh uwanya di Jakarta. Dalam waktu singkat ia bisa menghapal semua nama hewan dalam sebuah buku, plus suara dari hewan-hewan tersebut.

Ia kemudian mulai belajar menghitung, belajar mengenal abjad dan huruf hijaiyah. Gak habis pikir lagi, begitu cepatnya anak balita belajar.
foto dok pribadi

Si anak cuek ini juga mau menirukan semua omongan orang-orang di sekitarnya. Kami harus berbicara dengan hati-hati, dengan lafal yang jelas dan sedikit kencang agar kosakatanya semakin berkembang.

Kehati-hatian juga kami lakukan dalam bertindak. Menanam kebiasaan baik tentu bukan perkara mudah karena orang tua pasti jadi panutan.

Rai kini sudah terbiasa mengatakan 'ci momi' (terima kasih momi) atau 'ci popi' (terima kasih popi), jika ia diberi sesuatu atau diberi pertolongan.

Rai juga terbiasa buang sampah sendiri ke tempat sampah di dapur setiap selesai minum susu kotak atau makan camilan. Lalu mengucap alhamdulillah setiap kali bersin dan lain-lainnya.



Kami membiarkan Rai bersosialisasi bersama teman-teman gank balitanya di komplek. Setiap Rai selesai bermain di luar, kami selalu punya sesi 'curhat' dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan sederhana seperti 'teteh tadi main sama siapa?' 'teteh tadi main apa?'

Rai memang sudah kami biasakan untuk dipanggil teteh sesuai statusnya sekarang. Jujur saja, sejak Emica lahir, beban kami memang semakin berat.

Saya dan suami sangat bersusah payah agar perasaan Rai selalu terjaga, agar ia tak merasa perhatian kami pindah ke adiknya.

Kami dorong rasa simpati dalam diri Rai dengan turut serta mengajaknya dalam mengasuh Mica. Kini saat adiknya menangis, Rai jadi orang pertama yang menenangkan.

Kami juga tak pernah menghentikan aktivitas-aktivitas yang biasa dilakukan bersama Rai seperti menggambar, bercerita, dan bahkan berenang di depan rumah.

Karena memiliki sifat periang, tak jarang Rai sering berteriak sampai adiknya terbangun dari tidur. Jika kami memarahinya dan bersikap galak, tentu Rai akan merasa tersisihkan.

Kami biasanya akan mencoba meminta tolong agar ia bisa berbicara dengan lebih lembut, dengan memberinya pelukan. Dan tentunya menghindari omelan macam: "Jangan berisik teteh! Dedeknya jadi bangun tuh!"

Hal lain yang membuat saya takjub adalah, Rai tumbuh menjadi anak yang sangat romantis. Setiap bangun tidur, yang pertama kali ia cari adalah saya, untuk dipeluk dan dicium.

Tak disangka anak sekecil itu juga bisa kepikiran untuk menyuapi dan memberikan minum untuk ibunya. Rai sudah terbiasa mengekspresikan kasih sayang dalam bentuk perhatian.


Menjadi orang tua merupakan pengalaman seumur hidup yang paling menyenangkan sekaligus menegangkan. Saya dan suami saling menguatkan, memberi cinta dan kehidupan untuk Rai. Menyuapinya dengan kasih sayang, menempanya dengan keteguhan.

Selamat ulang tahun Rainier. Langkah teteh selalu ada dalam doa Momi.

foto: Sarah Munifah

Comments

Popular posts from this blog

Kerajian Tangan Tas Sedotan

Main di Kebun Teh Puncak

"Karma Dalem Boncel"