Botol Kecap (2)

Hari-hari terlewati. Anak tuan Hyr mulai memberanikan diri mengajakku pergi. Aku mulai menyukainya.

Petang hari, ketika semua urusan kami selesai, ia menjemputku di pertigaan. Mantel dan sepatu boot klasiknya mencuri perhatianku, ia sungguh memiliki selera yang bagus.

Saat itu matahari tertutup awan dan udara sedikit dingin karena angin berembus cukup kencang di akhir musim semi. Kami berjalan bergandengan. Tapi jangan pikir ini semacam kencan sepasang kekasih yang sedang kasmaran, kami sama sekali tak memiliki rasa itu.

Ia mengajakku ke perkebunan kedelai milik keluarganya. Dan aku jatuh cinta, pada perkebunan itu. Kedelai-kedelai terbaik dihasilkan di kebun yang luasnya sekitar tiga hektar ini, cukup luas untuk ukuran sebuah perkebunan keluarga.

Ia dan keluarganya lalu memberiku satu kantung penuh biji kedelai hitam yang ranum dan siap diolah menjadi kecap.

“Kau tahu, aku belum pernah mengolah kecap,” aku menatap biji kedelai di genggamanku lekat-lekat.

“Tak perlu khawatir, bibiku akan memberimu resep kecap terenak. Ini simpanlah botol milik ibuku, kau bisa menyimpan kecap buatanmu di dalamnya.”

Anak tuan Hyr memberikan sebuah botol berukuran kecil dengan sedikit tekstur gelombang di bagian bawahnya. Kacanya berwarna biru kehijauan. Bagian tutupnya yang terbuat dari kuningan terukir huruf H dengan gaya tulisan roman. Klasik.

“Botol ini indah sekali, mengapa kau memberikannya kepadaku?”

“Karena jika kau ingin membuat kecap, kau akan membutuhkan botol untuk menyimpannya,” ujarnya menahan tawa.

“Tentu, dasar bodoh! Tapi mengapa ayahmu tidak menjadi petani kedelai dan malah berjualan kalkun?”

“Kedelai ini usaha dari keluarga ibuku, sudah turun menurun. Jadi hanya ibuku yang bekerja di sini, ayahku tidak. Sebelum ayahku dirawat, aku lebih sering berada di perkebunan ini, itulah mengapa kau baru melihatku di pasar belakangan ini.”

Sambil berjalan, kakinya menyepak dedaunan yang gugur.

“Kau sungguh beruntung berada di tengah keluarga ini. Jika aku memiliki perkebunan dan peternakan, aku akan suka memasak…” ucapanku terhenti.

“Hey! Bukankah sekarang kau sudah suka memasak? Apa sekarang kau tidak lagi suka memasak karena kau suka padaku?”

“Apa kau bil….”

“Buatkan kecap yang enak untukku ya!”

Ia mengacak-acak rambutku. Senyumnya, ah lagi-lagi mengganggu konsentrasi. Kecap buatanku, harus melebihi manisnya.

***

Aku berhasil meraciknya sesuai resep dan menakjubkan, hasilnya sangat membuatku senang. Ini kecap pertama buatanku sendiri, dari biji kedelai hitam terbaik di kota ini.

Tak sabar hati ingin segera menemui anak Tuan Hyr dan melihatnya mencicipi kecap ini. Aku membawa kecap buatanku ke pasar, berlari riang.

Tapi dari kejauhan aku melihatnya menutup kedai. Aku memelankan langkah, masih memegang botol kecap ku yang berharga. Ku sentuh bahunya perlahan, ia menoleh. Wajah sendunya berubah riang.

“Tadi aku pergi ke dapur rumah Tuan Jan, tapi kau tak ada. Aku ingin …”

“Berpamitan?” ucapku memotong perkataannya.

“Aku ingin mencicipi kecapmu. Itu kan yang kau janjikan?”

Tersenyum dengan wajah pucat, anak Tuan Hyr duduk di dekatku, menyimpan segala barang bawaan di kakinya. Aku ikut duduk. Jelas ia akan pergi jauh.

“Suatu hari sebelum ibuku meninggal dunia, ia menitipkan segala pekerjaannya kepadaku. Saat itu ibu memberiku botol itu. Katanya, aku dapat memberikannya kepada wanita yang aku suka untuk minta dibuatkan kecap. Tapi aku tak pernah suka siapapun dan ku pikir botol itu tak akan ku berikan kepada siapa-siapa. Sampai akhirnya aku mengunjungi sebuah dapur rumah bangsawan untuk mengantarkan daging kalkun dan melihat makhluk yang lebih indah dari apapun, sedang memasak di dalamnya. Kau.”

“Aku?”

“Ya kau! Maaf kan aku, sekarang aku harus pergi, ayah membutuhkanku di sana.”

Wajahnya datar. Kenapa setiba-tiba ini? Jiwa yang tumbuh kuat mendadak rapuh. Aku ingin memeluknya dan memintanya tidak pergi. 

Apa perlu aku menyakini diri aku telah jatuh hati, setelah melangkah sejauh ini, setelah ia membawa ku masuk ke dunia baru tanpa menjauhkan ku dari dunia yang lama?

Botol kecap ini masih ku genggam. Ia lalu merebutnya, sama seperti ia merebut perhatianku begitu saja lewat senyumnya yang akan segera ia renggut. Ia mencicipi kecap buatanku. Kemudian tersenyum puas.

“Bawa ini.”

Aku memberikan tutup botol berlapis kuningan dengan ukiran huruf H, kepadanya. Ia meraih tanganku bingung. Wajahnya menyimpan banyak makna yang tak bisa kubaca satu pun.

"Kau tahu, botol kecap tidak akan pernah lengkap tanpa tutupnya. Seperti aku yang tak akan pernah lengkap tanpamu.”

Ia diam. Aku mengikutinya sampai stasiun, masih menggenggam erat botol kecapku yang berharga. Tangannya tampak sibuk, yang kanan menggenggam tutup botol kayu dan yang satunya menggenggam tanganku. Semua bawaannya ia tumpukan di punggung.

"Sampai kapan?”

Lama ia tak menjawab. Keretanya sudah memberi tanda keberangkatan. Asap mengepul menghitamkan langit-langit peron, tapi wajahnya masih terlihat jelas. Katakan sesuatu, pintaku dalam hati.

Masih terdiam, ia mengambil secarik kertas dan karet gelang dari dalam tas. Ditutupkannya bibir botol kecap yang kubawa dengan kertas itu, lalu diikatnya erat dengan karet gelang, agar isinya tidak tumpah.

“Aku akan kembali dan melengkapi botol kecap itu, dan melengkapimu.”

Seraya mencium keningku, menyimpan tutup botol ke sakunya, perlahan berjalan menuju salah satu gerbong kereta. Kini aku yang diam, masih dengan botol kecapku yang berharga digenggaman.

Dan ia pergi.

***


Melunasi hutang cerpen untuk seseorang yang pergi dengan tutup botol kecap.

Comments

Popular posts from this blog

Kerajian Tangan Tas Sedotan

Main di Kebun Teh Puncak

"Karma Dalem Boncel"