Hatiku Tertinggal di Kamboja (2)

Hari kedua

Di waktu sarapan, saya celingak celinguk di depan buffet. Pas saya tanya ke staf Kemenpar apakah ada makanan halal di sini, mereka langsung jawab '"Wallahualam mbak, pilih aja yang sayur sayuran.." Hm.

Akhirnya saya pilih bubur pakai kimchi. Saya baru tahu lho ternyata di Kamboja ada kimchi juga, walaupun lebih enak di Indonesia dan rasanya agak aneh waktu dicampur bubur. 

Pak Joko manggil saya untuk sarapan bareng. Waktu itu suasana restoran cukup sepi. Cuma ada beberapa tamu aja yang saya lihat.

Sambil makan, Pak Joko bercerita sesuatu hal yang bikin saya takjub. Jadi gini ceritanya.... Waktu Pak Joko kecil, di kampung halamannya di Kota X, ada sebuah kapal nelayan India yang menepi. (Siapa sangka si bapak ini ternyata anak pesisir yah).

Nah, waktu itu banyak anak-anak kecil yang gembira banget melihat kapal itu. Beberapa dari mereka bahkan sampai naik ke dalamnya.

Saat kapal tersebut kembali pergi berlayar, ternyata ada seorang teman Pak Joko yang terbawa. Keluarganya kalang kabut. Tetapi usaha mereka untuk mendapatkan kembali si anak, sia-sia.

Beberapa tahun kemudian, Pak Joko ada tugas dari Kemenpar untuk pergi ke India. Tak disangka tak dinyana, ia ketemu sama temannya yang hilang itu. 

Menurut Pak Joko, temannya itu sudah menikah dengan orang India dan punya anak. Dia bahkan masih fasih berbahasa Indonesia. 

Melalui Pak Joko, akhirnya temannya tersebut bisa pulang ke Indonesia dan bertemu kembali dengan keluarganya. 1

Masyaallah yah kisah ini

foto: Fira Nursya'bani
Karena acara inti Indonesia Tourism Table Top (ITTT) baru akan berlangsung besok, agenda kami hari ini adalah jalan-jalan. Yeay.

Sebuah mobil travel sudah menunggu kami di depan hotel. Waktu saya masuk ke dalamnya, WOW, hebring bener.

Minibus elf ini dihias dengan tirai warna pink terang plus renda-renda warna emas di atasnya. Kursinya pun dihias oleh kain pink. Di langit-langit mobil bahkan ada lampu kelap-kelip yang biasa dipakai dugem. Niat banget nih yang punyanya, bikin seger mata penumpang.

Jadi, mamang sopir dan kondektur travel yang disewa ternyata gak bisa bahasa Inggris. Mereka cuma bisa bahasa Khmer atau bahasa Kamboja. Tapi mereka tetap nganterin kita ke tujuan, mungkin karena udah ada kesepakatan perjalanan sebelumnya yah.

Tujuan pertama kita adalah Tuol Tompoung Market atau yang dikenal dengan nama Russian Market di St 163, Phnom Penh. Pasar ini disebut Russian Market karena populer di kalangan warga Rusia pada 1980-an. Ternyata mayoritas warga asing di Phnom Penh pada masa itu berasal dari Rusia.

foto: Fira Nursya'bani

Pasar ini tampilannya sih sama kayak pasar pada umumnya. Kebanyakan di sini pedagangnya jualan oleh-oleh macam baju, tas, topi, dan souvenir.

Mayoritas pedagang di sini jago banget bahasa Inggris. Bahasa Inggris mereka juga mudah dimengerti karena pake aksen melayu.

foto: Fira Nursya'bani

Kita bisa dapet barang murah di sini, asalkan bisa nawar. Hayoo bisa gak nawar pake bahasa Inggris? Oh iya di sini belanjanya bisa pakai dolar, jadi kita gak usah ribet-ribet ke money changer untuk nukar uang ke riel Kamboja.

foto: Fira Nursya'bani

Setelah beli baju dan syal di sebuah kios, kami mampir di satu kios souvenir. Teteh penjualnya lucu dan ekspresif banget, jadi kita betah tawar menawar. Pernak pernik yang dijual ada gantungan kunci, tempelan kulkas, gunting kuku, keramik, miniatur kuil, dan banyak benda-benda antik lainnya.

Setelah perdebatan panjang dan kocak, kami akhirnya memborong banyak souvenir. Meski heboh, si tetehnya baik juga dan ngasih diskon gede. Asiik.

Setelah lelah berkeliling, kami nyantai dulu sebentar. Sumpah udara di sini panas banget dan saya menyesal pakai baju hitam. Hiks.

Untung ada bapak tukang kelapa muda di depan pasar. Tanpa basa basi, kita semua pesan masing-masing satu buah.

Si bapak memang menjajakan kelapa itu untuk diminum langsung dari batoknya. Padahal kalau kelapanya dikerok, dikasih air gula, dan es pasti bakal endeuus banget.

foto: Fira Nursya'bani

Hari semakin siang dan perut sudah lapar. Karena bingung mau makan di mana, kami memutuskan untuk masuk ke restoran cepat saji K*C yang ada logo halalnya.

Saya agak bingung sih, meski restoran ini ada banyak di Indonesia, tapi penyajiannya di sini bener-bener berbeda. Nasinya bukan nasi putih, tapi nasi hainan. Nasinya juga gak dibungkus kertas, tapi langsung dibentuk di atas piring.

Dan yang paling aneh adalah, ada tambahan acar timun, wortel, dan kol. Setau saya sih, resto ini gak pernah nyediain sayuran di paket ayam goreng, kecuali paket yang ada saladnya.

foto: Fira Nursya'bani

Meski terheran-heran, tapi saya masih besyukur karena bisa makan makanan halal. Hweheh.

Perjalanan kemudian dilanjut, tapi kali ini kita mau ke mal. Agak bingung sih kenapa rombongan pengen ke mal, bukan ke tempat wisata :(

Katanya sih di Phnom Penh gak ada objek wisata yang bagus karena kebanyakan destinasi wisatawan ada di Siem Reap. Yah tetep aja saya kecewa karena saya berharap kita bisa mampir foto-foto di Istana Kerajaan yang ikonik.

Selama perjalanan, ada satu hal yang menarik perhatian saya. Di sini stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU)-nya berbeda-beda merek.

Kalau SPBU di Indonesia didominasi satu merek, di sini ada buanyak. Sayang saya cuma motret satu, katanya sih yang ini yang paling populer di sana.

foto: Fira Nursya'bani

Di perjalanan, kami memutuskan untuk mampir ke masjid untuk Salat Zuhur. Tapi waktu Mbak Dian minta sopir untuk cari masjid, sopirnya gak ngerti. Dijelasin berkali-kali pun dia gak paham dan kita semua bingung.

Tapi kami gak kehabisan akal. Sopir itu dikasih petunjuk berupa foto dan peta digital sampai akhirnya dia mengerti. Dibawa lah kita ke sebuah masjid, dan saya lupa nama masjidnya.

foto: Fira Nursya'bani

Gak ada yang berbeda dengan mal di Kamboja. Sebenernya saya pengen wisata kuliner, tapi ngeri juga kalau makanan yang dibeli gak halal.

Akhirnya saya iseng masuk ke toko pernak-pernik. Di sana saya beli sandal tidur dan eyeliner. Random sih memang, tapi saya juga bingung mau beli apa. Haha.

Setelah itu saya masuk ke supermarketnya. Awalnya cuma liat-liat, tapi akhirnya saya kepincut beli tas kecil dan payung hitam. Random lagi kan yah.

foto: Fira Nursya'bani

Rombongan sudah berkumpul di kedai kopi depan mal. Kita bakal kembali ke hotel sebelum menghadiri acara Indonesian Trade and Tourism Promotion (ITTP) 2017 di Koh Pich Exhibition Center.

Ah akhirnya bisa istirahat dan buka medsos.


Malamnya....

Di acara ITTP, ada berbagai stan yang menjajakan makanan-makanan khas Indonesia. Awalnya saya dijadwalkan untuk wawancara khusus Kedubes Indonesia untuk Kamboja yaitu bapak Pitono Purnomo. Ternyata bapaknya sibuk dan menjadwalkan ulang wawancara besok.

Yaudah deh, setelah puas mencicipi beragam makanan Indonesia, saya mencari tenant yang unik. Ditemukanlah mamang warga Kamboja penjual salak Indonesia, namanya Som Arun Punloeu.

Punloeu adalah pemilik perusahaan Salak A.K.A Trading Co.Ltd yang mengimpor salak langsung dari Indonesia.

Salak A.K.A Trading telah memiliki lebih dari 10 grosiran toko buah salak dari Indonesia. Salak-salak itu didistribusikan ke toko-toko kecil untuk kemudian dijual ke konsumen.

Punloeu menuturkan, pada awalnya perusahaannya hanya mengimpor 1.000 kg salak per minggu dari Yogyakarta. Namun, setelah semakin berkembang, kini perusahaannya telah mengimpor sebanyak 3.000 kg salak. Impor salak bisa dilakukan dua kali dalam sepekan.

Di Kamboja, rata-rata penjual buah menawarkan satu kg salak dengan harga 5,5 dolar AS. Menurut Punloeu, supermarket besar bisa menjual salak dengan harga lebih mahal, yaitu di atas 6 dolar AS per kg.

foto: Fira Nursya'bani

Punloeu memilih buah salak karena, tidak seperti buah-buah tropis lainnya, salak tidak dapat ditemui di Kamboja. Sebenarnya di Kamboja ada buah sejenis salak bernama lakam. Tapi kata Punloeu rasanya beda. Lakam asam dan salak lebih manis.

Buah lakam banyak dianggap sebagai buah jenis salak atau snakefruit. Namun, lakam memiliki daging buah yang berwarna lebih kuning dan kulit buah yang agak sedikit kemerahan.

Punloeu juga mengaku pernah mencoba mengimpor manggis dari Indonesia. Hanya, impor manggis tidak berlanjut karena harganya yang lebih mahal dari salak sehingga ia harus menaikkan harga jualnya di Kamboja.

Hmm.. jadi penasaran deh sama buah lakam.

Comments

Popular posts from this blog

Kerajian Tangan Tas Sedotan

Main di Kebun Teh Puncak

"Karma Dalem Boncel"