Walimatul 'Urs Fira-Raisan (1)

foto: Dharma Wijayanto

Hari ini saya akan menikah, tapi susah banget rasanya untuk tegang. Teringat waktu sidang skripsi dulu, belum tegang sama sekali langsung dipanggil masuk ke ruang dosen dan tiba-tiba lulus tanpa revisi.

Tapi ini bukan sidang. Kalau menurut bahasa anak linguistik, ini adalah ‘discursive practice’ yang akan mengubah jalan hidup saya dari seorang anak menjadi seorang istri, tentunya atas izin Allah.

Pagi itu, bersama dua sepupu dan adik, saya pergi dengan mengucap bismillah menuju gedung YPI Ciawi yang sudah di-booking empat bulan sebelumnya. Gedung ini akan jadi saksi bisu pernikahan saya nanti.

Sesampainya di lokasi, saya tersenyum malu-malu karena di depan gedung sudah ada beberapa karangan bunga atas nama saya dan Raisan.

Lalu saya masuk ke dalam, melihat dekorasi pernikahan yang minimalis di dalam gedung yang cukup besar. Saya tersenyum lagi.

foto: Raisan Al Farisi

foto: Muhammad Eldi Sudradjat

foto: Muhammad Eldi Sudradjat

Sejujurnya, di ruang khusus rias saya masih ngerasa santai. Cuma, perasaan agak sedikit mellow waktu ibu riasnya minta saya sungkem ke kedua orang tua sebelum proses merias dimulai. Waktu itu saya dipakaikan baju putih longgar dan dibaca-bacai doa.

Proses rias wajah ternyata memakan waktu cukup lama. Bahkan setelah semua sanak saudara selesai didandani, saya masih proses pemakaian bulu mata palsu, dua lapis. Kalau harus nikah dua kali, saya angkat tangan deh gak sanggup.

Tapi sejauh ini, saya puas banget dengan hasil rias wajahnya. Gak menor dan cemong. Cuma di bagian mata agak susah melek karena harus pake kelompak mata palsu, mengingat mata saya sipit banget. Dan untuk rambut, ternyata walaupun saya pakai kerudung, tetap harus disasak.

foto: Dharma Wijayanto

Baju untuk akad yang saya pilih berwarna putih. Awalnya saya ditawari untuk pakai bawahan ala gaun, tapi saya tolak. Saya ingin terlihat se-Sunda mungkin dengan pakai bawahan kain, toh Raisan pun pakai kain yang sama.

Untuk asesoris kepala, saya minta pakai siger dan kembang goyang. Menurut hasil lihat-lihat di instagram, pengantin pakai siger itu lebih ciamik daripada pakai kerudung dibelit-belit.

foto: Muhammad Eldi Sudradjat

Tadaaaa… semuanya selesai, tinggal pakai kutek warna hitam yang saya pesan langsung ke sepupu. Kemudian satu sepupu saya yang lain masuk ke dalam ruang rias dan bilang kalau proses akad sudah selesai.

Ya ampun, saya belum tegang, tapi akadnya udah selesai? Langsung saya mengucap syukur karena ‘discursive practice’ paling penting di hidup saya sudah terlewati dengan sempurna. Alhamdulillah..

Tapi kutek belum dipasang nih.. nanti lagi deh.

Lalu saya keluar dari ruang rias. Rasanya aneh ketika semua mata menatap saya, macam topeng monyet di kampung-kampung yang mengundang banyak kagum dari anak-anak kecil.

Tapi saya harus mengatur jalannya nafas supaya semuanya baik-baik saja. Dan benar, semuanya terlihat bahagia. 

Saya langsung menggenggam tangan adik kecil semata wayang saya yang sudah menunggu di luar pintu. Dia mengantar saya berjalan ke tempat akad untuk menyalami Mama, juga Papa dan Mama Bandung yang duduk gak jauh dari kursi akad. Semuanya tampak tegang, tapi saya gak bisa berhenti menyunggingkan senyum.

foto: Muhammad Eldi Sudradjat

foto: Muhammad Eldi Sudradjat/Dharma Wijayanto

Kemudian saya dengan santainya duduk di samping Raisan, yang sedang membacakan sigat taqlik di buku nikah, yang tentunya sekarang sudah berstatus sebagai suami. Ini serius? 

Setelah menandatangani beberapa dokumen di depan penghulu, Raisan secara resmi menyerahkan mas kawin berupa 11 gram emas.

foto: Dharma Wijayanto

foto: Dharma Wijayanto

foto: Dharma Wijayanto

foto: Dharma Wijayanto

Setelah ini, prosesi sungkeman ke orang tua pun dimulai. Kalau diresapi, mungkin prosesi ini merupakan bagian yang paling menyedihkan dari seluruh rangkaian acara, tapi saya ingat pesan ibu rias untuk tidak menangis karena akan merusak riasan wajah.

Untungnya, karena om MC pakai bahasa Sunda lemes dan saya sulit mencerna artinya, saya jadi gak terlalu ngerasa sedih. Kemudian kita berdua keliling untuk bersalaman dengan semua anggota keluarga yang hadir.

foto: Dharma Wijayanto

Acara berlanjut ke upacara adat pertama, yaitu saweran. Isi saweran ini sudah saya persiapkan sejak lama, yaitu kacang kulit, uang receh, beras, permen, dan kunyit.

Waktu itu yang lempar saweran duluan adalah orang tua, ke arah pengantin dan para pager ayu. Kemudian saya dan Raisan ikut melempar saweran ke arah para keluarga yang hadir.

Prosesi kedua adalah, saya harus pegang ujung jempol kaki Raisan untuk diinjakkan ke sebuah gulungan bambu. Gulungan itu harus rusak setelah diijak. Apa ya kira-kira maknanya?

foto: Dharma Wijayanto


Kemudian prosesi selanjutnya, saya kurang paham sih namanya apa, tapi waktu itu saya diminta cuci jempol kaki Raisan dari air kendi dan kendi itu harus dipecahkan berdua. 

Dari pecahan kendi itu, om MC bilang kalau kita bakal punya anak pertama berjenis kelamin laki-laki. Yeay. Aamiin allahuma aamiin.

Kemudian yang terakhir dan yang paling enak adalah berebut ayam bakakak (ayam panggang untuk kawinan), kebetulan saya dapet bagian yang paling besar. Mungkin ini artinya, istri harus dikasih uang belanja banyak ya. Hihi.

foto: Dharma Wijayanto

Setelah upacara adat pertama selesai, saatnya para tamu special, yang baru saja menonton prosesi akad, untuk makan hidangan yang tersedia. Saya sendiri punya adik-adik dari Tagoni yang selalu setia untuk nyuapin uni sulungnya.

Mari bersiap untuk resepsi. 

Bersambung..

Comments

Popular posts from this blog

Kerajian Tangan Tas Sedotan

Main di Kebun Teh Puncak

"Karma Dalem Boncel"